Lebih dari 50 Persen Perempuan Dunia Jadi Korban Pelecehan Melalui Media Sosial
Lebih dari lima puluh persen (58%) perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan korban pelecehan dalam bentuk ancaman kekerasan fisik, penyebaran gambar video tidak senonoh, ujaran kebencian SARA, dan dipermalukan.
Hal ini merujuk pada survei internasional oleh Plan International yang melibatkan 14.000 responden dari 22 negara tentang ‘Praktik Pelecehan Perempuan Melalui Media Online.
Dalam survei global yang dilakukan baru-baru ini, menunjukkan bahwa lebih dari separuh anak perempuan (58%) mengaku mereka mengalami atau menjadi korban perilaku pelecehan melalui media sosial.
Sebagaimana di lansir melalui situs Aljazeera.com. Anne Birgitte Albrectsen, CEO lembaga penelitian internasional Plan International mengatakan bahwa hasil studinya menunjukkan bahwa praktik pelecehan terhadap perempuan melalui media sosial menjadi sebuah kebiasaan buruk yang sangat mudah dijumpai di media sosial.
Anne menambhakan dimana berdasarkan temuan risetnya bahwa satu dari lima perempuan korban
pelecehan telah meninggalkan atau mulai mengurangi penggunaan platform media sosial setelah jadi korban pelecehan.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa para korban pelecehan yang masih aktif menggunakan sosial media dimana satu dari 10 korban dipaksa harus mengubah cara mereka bersosial media untuk menghindari pelecehan.
Bahkan ada dipaksa semakin depresi bahkan menyakiti diri sendiri. Dan sebagian besar anak perempuan dibiarkan menangani pelecehan sendiri: meskipun satu dari tiga pelaku laporan, pelecehan tetap ada.Ini adalah realita ancaman pelecehan di seluruh dunia.
Lembaga riset Plan Internasional melakukan sruvei terbanyak dengan melibatkan 14.000 perempuan lintas usia yang tersebar di 22 negara. Diantaranya Amerika Serikat, Kenya, India, Jepang, dan sebagainya dimana Plan International mendengarkan pengekuan para perempuan yang dilecehkan, dan dibungkam.
Menurut Anne, gerakan perlawanan pelecehan perempuan global saat ini mengalami momentum melakukan gerakan perlawanan, menurutnya sudah saatnya perusahaan media sosial dan pemerintah bertindak secara tegas.
Berdasarkan temuan survei. Praktik pelecehan perempuan berlaku bagi negara maju maupun negara berkembang, Hasil riset menemukan bahwa perempuan saat ini secara rutin menjadi sasaran pelecehan dalam bentuk kiriman pesan, foto pornografi, cyberstalking, dan bentuk pelecehan-pelecehan lainnya.Sedangkan dari segi platform media sosialnya.
Dalam riset tersebut diungkapkan bahwa serangan pelecehan paling sering terjadi di Facebook, di mana 39 persen telah mengalami pelecehan, diikuti oleh Instagram (23 persen), WhatsApp (14 persen) dan Twitter (9 persen).
Akibat dari praktik pelecehan perempuan secara online melalui media sosial perempuan mengalami beban berat, dimana anak perempuan dan remaja paling sering menjadi sasaran apalagi jika mereka berasal dari kelompok etnis atau agama yang terpinggirkan, memiliki disabilitas atau diidentifikasi sebagai LGBTIQ.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa akibat pelecehan online kehidupan anak perempuan juga terganggu saat offline. Seperlima dari responden mengatakan bahwa dirinya atau temannya terancam keselamtannya secara fisik akibat pelecehan secara online.
Tentu ini mengerikan, karena trauma, dan memiliki dampak besar bagi masa depan kaum perempuan di dunia.
Problem praktik Pelecehan terhadap perempuan tidak sebatas meninggalkan soal pelecehan saja.
Tetapi juga berdampak panjang, pada aspek kepemimpinan dan partisipasi anak perempuan dalam kehidupan modern.
Anne menjelaskan bahwa aturan tradisi atau norma gender yang tidak memihak perempuan telah lama mengakar dalam kehidupan masyarakat, merusak mental dan kepercayaan diri perempuan.
Saat ini posisi perempuan terusir dari ruang publik akibat pelecehan. Akibat dari problem gender yang menstigmakan mereka perempuan bukan pemimpin.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa Tiga puluh sembilan persen (39%) perempuan mengatakan pelecehan melalui media sosial menurunkan harga diri mereka. Tiga puluh delapan persen (38%) mengatakan mengalami tekanan mental dan emosional yang parah. Delapan belas persen (18%) mengatakan berdampak pada pendidikan mereka.
Anne menjelaskan Para stakeholder memiliki peran kunci atas probelem ini, terutama perusahaan media sosial. Para korban pelecehan selama ini merasakan bahwa layanan pengaduan yang ada sejauh ini tidak efektif, dan juga tidak ada platform utama yang mampu menghentikan penyalahgunaan media sosial.
Sebagaiman hasil survei ditemukan meskipun satu dari tiga (35 persen) korban pelecehan telah melaporkan melalui layanan pengaduan media sosial.Namun, praktik pelecehan terhadap perempuan masih terus berlangsung karena pelaku dapat terus mennggunakan akun akun media sosial lain yang dimiliki.
Pemerintah harus menerapkan undang-undang khusus untuk menangani kekerasan online dan memastikan bahwa mereka yang menjadi korban dapat memperoleh keadilan. Plan Interntional menguslkan agar pemerintah masing-masing negara harus mengembangkan kebijakan yang mendukung media sosial yang ramah terhadap perempuan.*
Komentar