Memadamkan “Api Sekam” Keberagaman di Indonesia

Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa! (Bung Karno, Pidato “Lahirnya Pancasila”, 1 Juni 1945).

Bangsa Indonesia dalam lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran dan terbuka.

Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks kebudayaannya sendiri. Keberagaman bangsa Indonesia merupakan sebuah kekuatan yang patut dibanggakan dan dijadikan sebagai modal untuk kemajuan bangsa.

Namun, keberagaman yang menjadi keniscayaan sebagai bangsa Indonesia menjadi terancam oleh isu-isu politik identitas belakangan ini.

Politik identitas yang terjadi di Indonesia sangat kental dengan nuansa etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwarnai oleh para aktor seperti elit-elitnya sendiri.

Awalnya muncul dari konsolidasi pemilu semata, tapi belakangan politik identitas mengarah pada perbedaan-perbedaan penafsiran atas ajaran agama yang bersifat dogmatis yang menghadirkan eksklusivisme dalam kelompok-kelompok mayoritas, kemudian tumbuh sebagai akar-akar konflik sosial yang menghasilkan narasi-narasi permusuhan dalam permainan politik.

Kita bisa lihat, misalnya bagaimana narasi provokasi dengan judul “bombastis” melalui media sosial dengan membanding-bandingkan perbedaan pendapat antar ustadz-ustadz di youtube, viewersnya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan.

Hal ini berbanding terbalik jika kita menonton ceramah utuhnya. Di sisi lain, gesekan antar organisasi masyarakat di sejumlah daerah masih sering terjadi dan minim upaya rekonsiliasi yang masif.

Situasi tersebut dipertajam dengan realitas kekuasaan yang represif, merebaknya isu-isu ketidakadilan di mata hukum dan tentu problem kesejahteraan sosial yang hingga saat ini belum sepenuhnya teratasi.

Krisis kepercayaan pun menjadi suatu hal yang tidak teralakkan. Ketergantungan hutang luar negari, pengangguran dan degradasi kualitas kehidupan dan lingkungan, serta politik-kuantitatif-pencitraan menjadikan Indonesia saat ini tidak memiliki karakter kebangsaan yang jelas lagi tegas.

Menilik dari pengalaman agama-agama samawi, di mana sang messiah (nabi) selalu lahir pada situasi titik terendah peradaban moral manusia.

Tidak berlebihan kiranya kita mengharapkan messiah itu mewujud dalam generasi muda saat ini yang menjadi titik sentral untuk menjawab tantangan zaman dan mengemban tugas mengukuhkan persatuan dalam perbedaan, demokrasi dan rasa solidaritas kebangsaan melalui restorasi nilai-nilai Pancasila.

Pancasila sebagai common value dan common consensus sejatinya bukan lahir dari semangat yang statis dan mistis. Pancasila lahir sebagai proses yang natural terhadap dialektika masyarakat Indonesia yang plural secara ideologi, suku dan agama.

Muhammad Khutub (Direktur Dialektika)

Pancasila tidak boleh ditafsirkan represif dan bertentangan dengan alam demokrasi keindonesiaan, apalagi atas nama kekuasaan.

Di sisi lain, sebuah bangunan kekuasaan di luar Pancasila menjadi tidak sah. Tetapi harus diingat bahwa Pancasila tidak boleh terpasung oleh kejumudan penafsiran.

Pancasila harus menjadi ideologi terbuka yang mustahil dijadikan penjabarannya sekali untuk selamanya.

Sementara itu, bagi golongan yang masih memperuncingkan ideologi Pancasila, bukan berarti

halal untuk bertindak refresif. Mereka juga berhak diperlakukan sesuai nilai-nilai luhur Pancasila.

“Indonesia saat ini tidak memiliki karakter kebangsaan yang jelas lagi tegas”.

Klik Magazine Versi PDF:

Komentar

About Author /

Start typing and press Enter to search