Bank Syariah Indonesia, Berpihak ke Siapa?

Oleh : Muhammad Khutub (Direktur Dialektika)

Konferensi Press PP Muhammadiyah

PP Muhammadiyah selaku DPK terbesar di Bank Syariah Indonesia yang baru dilaunching meminta “syarat” khusus untuk pembiayaan UMKM minimal 60% dari total pembiayaan sebagai bentuk keberpihakan Bank Syariah Indonesia kepada masyarakat kecil.

Sebagaimana yang tertuang dalam Pernyataan Pers No.31/PER/I.0/A/2020 tentang Bank Syariah Indonesia (BSI) untuk keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat bahwa PP Muhammadiyah menghendaki  Bank Syariah Indonesia harus memiliki kebijakan khusus.

Yaitu kebijakan yang bersifat imperatif yang lebih besar (minimal 60% pembiayaan UMKM) untuk akselerasi pemberdayaan, penguatan, dan pemihakan yang tersistem kepada UMKM dan kepentingan mayoritas rakyat/masyarakat kecil.

Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi BSI, di mana keinginan Muhammadiyah tersebut bertentangan dengan semangat awal pembentukannya yaitu dalam rangka meningkatkan daya saing Bank Umum Syariah (BUS) dalam memberikan pelayanan kepada nasabah agar setara dengan pelayanan bank umum, salah satunya melalui pembiayaan pada korporasi-korporasi besar.

Perbedaan cara pandang inilah kemudian belum menemui titik temu sampai sekarang, karena seperti yang kita ketahui bahwa peleburan ini sejatinya sudah jauh-jauh hari dicanangkan oleh Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS).

Tantangan Bank Syariah

Setelah mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi pada tahun 2013-2014, perbankan syariah menghadapi tantangan berupa perlambatan pertumbuhan. tantangan industri perbankan syariah pada tahun-tahun mendatang diprediksi tidak akan mudah, di mana lingkungan ekonomi global belum menunjukkan pemulihan yang signifikan, apalagi setelah mangalami resesi akibat pandemi.

Menurut KNKS, melihat tantangan perbankan syariah saat ini, maka perlu dilakukan intervensi penuh dari pemerintah (full intervention) terdapat kemungkinan total aset perbankan syariah dapat meningkat secara lebih moderat (27%) atau agresif (36%).

Sehingga total aset perbankan syariah dapat mencapai Rp 2.000 trilliun atau Rp3.000 trilliun.

Oleh karena itu, perlu dilakukan intervensi bank syariah oleh pemerintah dalam skala besar yang dapat meningkatkan efektivitas perbankan syariah yaitu merger bank syariah milik BUMN.

Kembali pada “syarat” yang diberikan Muhammadiyah kepada BSI, sepertinya akan sangat sulit terealisasi, salah satu faktor kesulitan tersebut karena BSI harus mengikuti Peraturan Bank Indonesia No.17/12/PBI/2015 yang hanya mensyaratkan paling rendah rasio pembiayaan UMKM terhadap total keseluruhan pembiayaan adalah 20%. Padahal jika dilihat realisasinya pada perbankan tidak sampai 19%.

“syarat” yang diberikan Muhammadiyah kepada BSI, sepertinya akan sangat sulit terealisasi, salah satu faktor kesulitan tersebut karena BSI harus mengikuti Peraturan Bank Indonesia.

Muhammad Khutub (Direktur Dialektika)

Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas menilai pembiayaan untuk UMKM tampak masih sangat kecil dengan kewajiban pihak bank untuk mengucurkan pembiayaan kepada UMKM hanya 20%. Padahal 90% lebih unit usaha di Indonesia ada di sektor UMKM, sementara sektor korporasi besar tidak sampai satu persen.

Kalau di total secara keseluruhan jumlah UMKM 99,99% dan hanya dapat 20% sementara yang jumlahnya 0,01% dapat pembiayaan sebesar 80%. Padahal jumlah pelaku usaha UMKM sekitar 62 juta dan korporasi besar hanya sekitar lima ribu. Anwar menyebut bahwa usaha kecil dan menengah saat ini memang terabaikan dan tidak terlayani perbankan.

Padahal jumlah pelaku usaha dan tenaga kerja di level UMKM sangat besar jumlahnya. Maka dari itu, PP Muhammadiyah tidak setuju jika bank syariah milik BUMN justru dimerger karena arahnya masih akan menggarap pembiayaan di unit usaha skala besar.

Persoalan inilah yang dihadapi BSI saat ini yaitu menetapkan identitas di mata masyarakat, apakah akan ikut arus kecenderungan industri keuangan umum atau mengambil sikap atas ketimpangan akses finansial bagi kelompok ekonomi lemah.

Kalau BSI memilih pada pemenuhan kesejathteraan masyarakat kecil, dapat dikonstruk sebagai bentuk keberpihakan terhadap spirit perekonomian syariah secara sistemik. Sebaliknya, jika memilih pada arus umum, umat muslim tidak dapat merasakan bedanya dengan bank konvensional yang mempunyai visi bisnis profit oriented semata.

Pembentukan BSI ini harus dijadikan langkah awal cita-cita ekonomi yang diharapkan oleh para pendiri bangsa Indonesia, yaitu upaya mewujudkan keadilan sosial yang berdasarkan kerjasama (cooperation-based economics) yang menolak pasar bebas dan persaingan tidak sehat.

Memiliki paham kebersamaan dalam asas kekeluargaan yang menolak sistem competitive economics yang menghalalkan maximum satisfaction, profit dan gain atau hasrat individualisme yang tidak mempunyai signifikansi pada manfaat sosial.

Oleh karenanya, operasional BSI hendaknya tidak terjebak pada industri keuangan pro-pasar yang senantiasa dikonstruksi sesuai kehendak si kaya dan oleh perhitungan rigid untung-rugi ekonomi semata.

Bank Syariah Indonesia dalam menetapkan orientasi bisnisnya, tidak hanya dijalankan dalam rangka mengakumulasi kapital, akan tetapi juga mengakumulasi manfaat dan kemaslahatan bagi sesame.

Hal ini yang kelak akan menempatkan perilaku ekonomi umat muslim  yang bercirikan homo-ethicus, homo socious,homo-religius dan homo-magnus-humanus yang menempatkan manusia sebagai sentral subtansial, bukan homo-economicus. (*)

Klik Magazine Versi PDF

Komentar

About Author /

Start typing and press Enter to search