Hukum Besi Oligarki di Indonesia
Robert Michels, seorang pengajar dan sekaligus politikus, memutuskan keluar dari Partai Sosial Demokrat Jerman. Ia kecewa, karena partai tersebut hanya diatur oleh segelintir elit. Tidak ada sebuah transaksi demokratis yang benar-benar menghitung suara akar rumput.
Dalam alam pikirnya, partai bukan seperti itu. Partai harusnya dikembangkan dengan berlandaskan aspirasi dan kepentingan kader dan para pendukungnya.
Dalam bukunya On the Sociology of Political Partiesin Modern Democracy: a Study on Oligarchic Tendencies in Political Aggregations, Michels menyebut kondisi partai yang seperti itu sebagai hukum besi oligarki.
Michels melihat dalam kiprah riil partai politik, dunia partai adalah dunia kaum elite dengan watak otokratik. Menurut Michels, nyaris tidak ada satu partai pun yang tidak terhinggapi oleh penyakit yang bernuansakan elitisme.
Hukum besi oligarki ini salah satunya melekat pada sosok Benito Musollini. Seorang diktator asal Italia.
Awalnya, Musollini adalah seorang pemimpin yang lahir dari rakyat. Namun, setelah berkuasa, ia terjebak oleh hukum besi oligarki. Perlahan, ia mulai bertransformasi menjadi diktator paling besar dalam sejarah Italia.
Masih di Italia, sosok lain yang bisa dibilang memainkan hukum besi oligarki adalah Silvio Berlusconi. Mengerahkan jaringan dan kekayaannya, mantan bos AC Milan itu mendirikan partai Forza Italia (FI).
Dengan kekuatan jaringan dan kekayaan Berlusconi, FI mampu memenangkan pemilu hanya setahun setelah didirikan. Dengan bantuan jaringan media, terutama Finivest, FI mampu membangun citra positif di tengah masyarakat.
Namun, dalam perkembangannya, ketergantungan FI pada Berlusconi demikian besar. Sehingga, partai ini cenderung menjadi seperti sebuah institusi pribadi.
Kasus di Indonesia
Hukum besi oligarki di Indonesia menghendaki siapa pun yang ingin menjadi pemimpin harus menggunakan kendaraan oligarki.
Maka, masyarakat kemudian menyaksikan banyak tokoh-tokoh rakyat lahir, tetapi dalam kepemimpinannya seakan hanya mementingkan kelompok elite saja.
Sosok Joko Widodo (Jokowi) menjadi contoh yang paling dekat. Belakangan ini agak sulit untuk mengatakan Jokowi tidak terperangkap dalam hukum besi oligarki.
Keengganannya untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mencabut UU KPK hasil revisi dan dukungannya terhadap UU Cipta Kerja menunjukkan isyarat demikian.
Sikap Jokowi yang demikian itu tentu bertolak belakang dengan citra yang ia bangun selama ini, yaitu pemimpin yang sederhana dan merakyat.
Dosen FISIP Universitas Pasundan, Wim Tohari Daniealdi dalam artikel di tempo (02/10/2019) mengatakan setiap pemimpin yang lahir di alam demokrasi secara procedural pastilah berasal dari rakyat.
Hanya, lanjut Wim, setelah berada di puncak kekuasaan, para pemimpin rakyat tersebut tersandera oleh kebutuhan sistem yang disebut dengan oligarki.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Firman Noor dalam artikel yang ia tulis di sindonews.com (31/01/2015) mengatakan ada lima hal yang menyebabkan hukum besi oligarki menguat di Indonesia.
Pertama, partai di Indonesia memang “milik” segelintir orang. Menurut Firman, hal seiring dengan bergantungnya kehidupan partai kepada mereka yang memiliki kekuatan finansial. Akibatnya, para “pemegang saham”, yaitu para elite mempunyai peluang lebih besar dalam berkiprah.
Kedua, lemahnya kaderasi partai yang berimplikasi kepada ketidakjelasan jenjang karier di partai dan berkembangnya pendekatan pragmatism.
Ketiga, adanya porsi lebih kepada jajaran elite dalam menentukan hidup mati partai. Firman menyebut dalam labirin struktur yang oligarkis ini, elite partai bergerak nyaris tanpa kontrol.
Keempat, aturan main yang belum seutuhnya menopang demokratisasi partai. Dalam hal ini, Firman memberi contoh pengaturan keuangan partai yang diamanatkan oleh UU Partai Politik.
Menurut Firman, hal ini memberikan peluang bagi para kader yang juga pengusaha besar untuk mengukuhkan perannya dalam partai. Ia memiliki kesempatan untuk menyumbang sejumlah uang tanpa bata.
Kelima, ”pasar” atau pemilih yang tidak kritis. Menurut Firman kondisi ini kerap dimanfaatkan oleh partai-partai dalam mendulang suara di pemilu.
Saat ini banyak partai yang terjerembab dalam lingkar elitisme dan oligarki justru berhasil baik dalam pemilu. Situasi ini tentu saja tidak memberikan stimulus bagi partai untuk memperbaiki diri.[MN]
Klik Magazine Versi PDF
Komentar