Demokrasi, Ayam dan Telur
Mana yang lebih dulu, ayam atau telor? Pertanyaan klasik dan teka teki klasik yang terus menimbulkan perdebatan.
Ada kubu yang meyakini ayam dahulu dengan argumen-argumennya dan ada kubu yang meyakini telur lebih dahulu.
Ayam-telur menjadi teka-teki yang diperdebatan hingga kini. Bahkan para ilmuwan terkemuka saling memperkuat argumen mereka untuk menjawabnya.
Ahli astrifisika terkenal, Stephen Hawking misalnya, Ia meyakini bahwa telur lebih dulu ada dibanding ayam. Dua universitas di Inggris, Sheffield University dan Warwick University, secara khusus melakukan penelitian tentang hal tersebut dan menyimpulkan sebaliknya, ayam lebih dulu dibanding telur.
Teka-teki klasik ini sangat relevan jika dikaitkan dengan kondisi demokrasi di Indonesia, untuk memahami bagaimana praktik demokrasi yang transaksional, demokrasi yang dagangan, demokrasi yang suka praktik lelang kekuasaan, di sebuah negeri paling padat keempat di dunia, yang demokrasinya terbesar ketiga, yang termasuk sukses dalam demokratisasi “gelombang ketiga”, yaitu Indonesia.
Sistem demokratisasi di Indonesia berada dalam bayang-bayang praktik politik transaksional, para politisi mempraktikkan vote buying (jual beli suara) dengan berbagai bentuk. Bisa serangan fajar, pendistribusian bantuan atau barang, atau akses istimewa terhadap projek dan menjadikan sumber daya negara untuk dikontrol sehingga melahirkan keuntungan politik dan material secara pribadi.
Praktik itu berjalan di semua tahap siklus dalam proses Pemilu, karenanya demokrasi Indonesia sudah mengarah kepada demokrasi dagangan.
Yaitu praktik perdagangan kekuasaan negara, dimulai dari berapa besar uang yang harus di keluarkan oleh calon, mahalnya biaya politik dalam pencalonan. Karenanya, para calon kemudian melakukan lelang dukungan, dengan memberikan iming-iming bagi projek, uang, dan janji akses istimewa melalui jalur kekuasaan. Praktik korupsipun tak terhidarkan, kebijakan tidak lagi programatik untuk semua rakyat, melainkan hanya untuk para kelompok pendukung pemenang.
Praktik seperti diatas adalah fakta yang mudah sekali dijumpai, tidak hanya pada perebutan kekuasaan tingkat legislatif atau eksekutif, bahkan hingga level terendah yaitu pemilihan ketua RT dan RW. Ini memperlihatkan bahwa di Indonesia kekuasaan telah dilelang.
Praktik itu berjalan di semua tahap siklus dalam proses Pemilu, karenanya demokrasi Indonesia sudah mengarah kepada demokrasi dagangan.
Dalam kondisi yang demikian, politisi sering mengeluhkan mahalnya biaya politik. Pada level paling bawah pemilih menuntut harga suara yang diberikan.
Politisi hari ini dihadapkan pada situasi sulit, disatu sisi harus idelaistik mengikuti aturan pertandingan dalam proses demokrasi. Namun, ia juga dipaksa harus melanggar aturan agar dapat memenangkan Pemilu.
Lantas, siapa yang memulai praktik politik transaksional hingga mengakar dan membudaya?. Politisi yang mengajarkan politik uang, atau pemilih yang menuntut politik uang agar politisi menang?.
Pertanyaan ini mirip dengan teka-teki klasik, lebih duluan mana antara telur dengan ayam?. Lebih duluan mana, politisi yang membeli suara, atau pemilih yang menjual suaranya?.
Pemilih sering berargumen, toh kalo sudah terpilih juga sama saja, mereka tak lagi peduli dengan kita. Kita hanya dijadikan objek politik saja. Pemilih memiliki persoalan trust kepada para calon-calon atau politisi. Janji-janji politik, perilaku korup pemimpin sering membikin kecewa, sehingga para pemilih memutuskan menjadi pemilih yang tidak berintegritas, dan memutuskan menjual hak suaranya.
Pun, demikian dengan politisi atau kandidat, mereka merasa sulit memenangkan kontestasi tanpa menggunakan praktik pembelian suara yang massif.
Akibatnya, kandidat yang bermodalkan kapital rendah namun sosial tinggi butuh perjuangan keras untuk menang. Yang bermodal kapital tinggi lebih mudah meraih kekuasaan.
Tak pelak, politisi hari ini dihadapkan pada situasi sulit, disatu sisi harus idelaistik mengikuti aturan pertandingan dalam proses demokrasi namun ia juga harus dipaksa melakukan pelangggaran pelanggaran aturan agar dapat memenangkan dalam proses kontestasi.
Demokokrasi ayam telur ini nampaknya akan sulit dihentikan jika tidak ada sebuah terobosan penting.
Tak penting siapa yang memulai duluan. Tapi, bagaimana harus segera diselamatkan demokrasi Indonesia dari jeratan politik uang.
Satu-satunya cara tidak lain adalah kerjasama seluruh pihak untuk memulihkan jalan demokrasi, Rakyat membutuhkan pendidikan politik juga trust dari para pemimpinnya.
Indonesia butuh pemimpin yang berintegritas dan betul-betul tulus memperjuangkan rakyatnya. Pendidikan politik untuk semuanya, ingritas untuk semuanya, ini barangkali menjadi jalan awal pemulihan demokrasi Indonesia. [YM]
Klik Magazie Versi PDF
Komentar