Politik Indonesia: Who Gets What, When, and How
Harold Dwight Lasswell, seorang ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat, seakan sudah meramal kondisi politik Indonesia. Melalui paradigma komunikasi yang ia munculkan dalam menjelaskan sistem politik.
Lasswell melalui bukunya berjudul Politics: Who Gets What, When, How terbit di tahun 1936. Ingin membedah bagaimana sistem politik itu berjalan.
Lasswell memandang politik sebagai studi tentang perubahan pola distribusi nilai dalam masyarakat. Karena distribusi bergantung pada kekuasaan, maka titik fokus analisisnya berada pada dinamika kekuasaan.
Karenanya Lasswell, secara sederhana ingin menyampaikan, politik adalah pergulatan persoalan “siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana” (who gets what, when and how).
Lasswell adalah seorang profesor di Chicago School of Sociology, Yale University. Merupakan warga negara Amerika yang lahir pada 13 Februari 1902, Donnellson, Illinois, AS. Harold Lasswell meninggal diusianya yang ke-76 tepat pada 18 Desember 1978 di Kota New York , AS.
Bagi Lasswell, politik tidak jauh dari “pengaruh dan yang mempengaruhi”. Kekuatan politik adalah kemampuan untuk menghasilkan efek atau mempengaruhi. Dan cara terbaik untuk menjelaskan bentuk komunikasi tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?. Inilah paradigma komunikasi Lasswell dalam menjelaskan sistem politik.
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi memiliki lima unsur pertanyaan penting yang membutuhkan jawaban yaitu: Komunikator (siapa yang jadi aktor?) Pesan (menyampaikan pesan apa?) Media (melalui apa?) Komunikan (kepada siapa?) Efek (apa dampaknya?).
Selaras dengan teori Lasswell tersebut. Politik di Indonesia selalu tidak bisa lepas dari pertanyaan (who gets what, when and how). Siapa mendapatkan apa, lalu kapan dan bagaimana.
Contoh sederhannya adalah siapa saja yang ingin menjadi pemimpin? Kemudian kapan dan bagaimana kursi kepemimpinan bisa diraih? Dengan cara apa meraihnya? Kapan diraihnya?.
Seorang politisi maka dia akan menjadi aktor, menjadi seorang kandidat. Entah menjadi pemimpin Parpol, menjadi pemimpin / anggota parlemen, menjadi seorang presiden, Bupati, Gubernur, dan sebagainya.
Seorang aktor, kandidat, atau politisi tentunya haruslah mampu membangun komunikasi yang baik untuk dapat mempengaruhi publik, sehingga memuluskan agenda politiknya.
Dalam praktiknya, di Indonesia bagaimana mendapatkan kekuasaan sering dilakukan oleh para politisi dengan membangun komunikasi yang tidak sehat, cara yang boleh dibilang tidak bermoral, tidak berintegritas.
Perebutan kekuasaan dilakukan dengan cara-cara membangun komunikasi dengan mengedepankan politik identitas, politik SARA, menjalankan praktik jual beli suara, bahkan hingga menjalankan praktik lelang kekuasaan.
Politik Identitas
Praktik-praktik tersebut tentu tidak saja terjadi di Indonesia, kasus serupa terjadi negara lain seperti Amerika era Trump yang sangat menonjolkan politik identitas. Stretgi bagaimana memperoleh kekuasaan yang dilakukan oleh kandidat dan tim sukses terkadang menghalalkan segala cara. Mengorbankan rakyat dan tatanan kehidupan sosial. Kasus politik identitas di Indonesia di setiap gelaran Pemilukada dapat menjadi contoh nyata, hingga puncaknya terbentuknya polarisasi yang terjadi semasa Pilpres 2019 yang terus menganggu dan mengancam kekayaan Indonesia yaitu keberagaman.
Politik identitas dan SARA dijadikan sebagai alat untuk menjawab pertanyaan Lasswell yaitu pertanyaan how (bagaimana), Untuk mempenagruhi pemilih. Politisi dan tim sukses menggunakan konten-konten berbau SARA, bahkan hoax dengan menggunakan segala macam platform dunia informasi baik digital maupun cetak. Bahkan tak jarang juga menggunakan gerakan pengumpulan massa. Demi meraih dan mempengaruhi pemilih.
Apakah model komunikasi tersebut ada dampaknya?, Inilah ukuran dari berhasil atau tidak berhasilnya strategi bagaimana mencapai tujuan dari seorang aktor atau politisi. Penggunaan politk identitas dan SARA di beberapa Pilkada dapat memberikan dampak kemenangan seorang kandidat. Dalam konteks teori Lasswell ini erat kaitannya dengan komunikasi yang dibangun melalui propaganda.
Lelang Kekuasaan
Menjawab pertanyaan when and how dalam konteks perebutan suatu tujuan seorang politisi atau kandidat, di Indonesia melibatkan sebuah praktik dunia gelap. Kekuasaan diraih dengan cara-cara yang tidak terhormat. Melelang kekuasaan dengan mengendalikan sumber daya negara untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Praktik yang demikian mudah sekali dijumpai dalam proses peralihan kekuasaan melalui jalan Pemilu. Praktik perdagangan kekuasaan dilakukan sepanjang siklus Pemilu. Dimulai dengan adanya praktik jual beli mahar politik, tak jarang Parpol menuntut harga tinggi untuk mengusung seorang kandidat. Sampai disini sangat terang, siapa mendapatkan apa dalam proses politik momen Pemilu di Indonesia.
Dalam proses selanjutnya, seorang kandidat masih harus bekerja keras untuk merebut pemilih. Janji-jnaji akses, projek, dan bagi-bagi projek sering menjadi senjata par akandidat untuk memuluskan perebutan kekuasaan. Belum lagi vote buying atau jual beli suara dengan para pemilih yang angkanya tidak sedikit.
Praktik politik identitas dan lelang kekuasaan yang terjadi di Indonesia saat ini sepertinya telah menjawab tuntas bagaimana perilaku komunikasi politik di Indonesia berdasarkan teori Lasswell yaitu who gets what, when and how.
Relasi atau komunikasi seorang aktor/politisi dengan yang dipengaruhi (publik) dipraktikkan dengan cara-cara yang buruk. Mempraktikkan perdagangan kekuasaan negara, melelang kekuasaan, merebut dan manfaat sumber daya negara hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok serta mempertahankan kekuasaan.
Praktik yang demikian jelas merusak kualitas demokrasi Indonesia, melahirkan pemimpin yang terpaksa berkorupsi akibat biaya politik tinggi.
Membunuh proses pembangunan demokrasi Indonesia. Mirisnya ini menjadi sangat mengakar hingga ke semua level kekuasaan mulai dari RW hingga Presiden, di semua sektor terkena imbasnya. Budaya buruk yang mengakar dan membutuhakn upaya keras untuk perbaikkannya.
Relasi atau komunikasi seorang aktor/politisi dengan publik dengan cara-cara yang buruk. Mempraktikkan perdagangan kekuasaan negara, melelang kekuasaan, merebut dan manfaat sumber daya negara demi kepentingan kekayaan dan kekuasaan.
Praktik-praktik merebut kekuasaan juga terjadi di partai politik. Perebutan kerap menimbulkan dualisme di tubuh partai, seperti yang pernah terjadi pada Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Perjuangan (PDI), dan partai-partai yang lain.
Perebutan Kekuasaan
Dalam konteks perebutan kekuasaan di Indonesia juga tampak seperti apa yang dituliskan oleh Harold Dwight Laswell pada tahun 1935 silam. Teori Lasswell “Who Gets What, When, How” menjadi relevan dengan perilaku aktor-aktor politik di Indonesia.
Politik adalah soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya. Kata “Who” berkaitan dengan aktor politik, “What” berkaitan dengan tujuan, “When” dan “How” berkaitan dengan strategi.
“Who Gets What, When, and How” dalam teori Laswell sebenarnya tidak hanya terkait kekuasaan an sich. Konteks tujuan dalam kata “What” bisa berarti hal-hal yang lain, seperti keadilan, kebenaran, dan lain-lain.
Namun, dalam praktik politik di Indonesia yang diperankan para politisi dan partai politik, teori ini akan mengerucut pada satu kata: kekuasaan.
Di Nusantara, jauh hari sebelum Laswell menulis Who Gets What, When, How, peristiwa tentang bagaimana cara mendapatkan kekuasan dipraktikkan dengan sangat baik oleh Ken Arok. Ia membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan menguasai Tumapel, sebuah daerah yang masuk dalam Kerajaan Kediri.
Pramoedya Ananta Toer menuliskan cerita “kudeta” Ken Arok ini dalam roman Arok Dedes. Mula-mula, Arok memamerkan sebuah keris yang sangat indah buatan Mpu Gandring kepada Kebo Ijo, punggawa Tumapel yang hebat dan suka pamer.
Melihat keris yang indah itu, Kebo Ijo tertarik, dan Ken Arok dengan senang hati meminjamkan keris kepada sang punggawa. Lalu Kebo Ijo pamerkan keris buatan Mpu Gandring itu ke seantreo Tumapel. Ia tidak tahu sebenarnya telah terperangkap dalam strategi Ken Arok untuk merebut Tumapel.
Hingga pada suatu malam, Ken Arok mengambil keris dari Kebo Ijo yang tengah tertidul lelap secara diam-diam. Lalu, ia masuk ke kamar Tunggul Ametung dan menusukkan keris kepada sang Akuwu. Keris Mpu Gandring itu ditinggal oleh Ken Arok menancap di tubuh Tunggul Ametung.
Ketika pagi tiba, Tumapel geger, Sang Akuwu telah terbunuh tanpa diketahui siapa pembunuhnya. Hingga kemudian Ken Arok tampil di depan warga menanyakan siapa pemilik keris yang menancap di tubuh sang Akuwu. Warga Tumapel menjawab kalau keris itu milik Kebo Ijo. Sebagai orang kepercayaan Tunggul Ametung, Ken Arok pun kemudian membunuh Kebo Ijo.
Setelah itu, Ken Arok tampil sebagai pemimpin di Tumapel dan menjadi awal sejarah dari lahirnya Kerajaan Singasari.
Peristiwa perebutan kekuasaan seperti yang ditampilkan oleh Ken Arok sebenarnya bukan fenomena yang aneh di Indonesia. Hanya saja caranya yang berbeda-beda.
Naiknya Jenderal Soeharto sebagai presiden diawali dengan lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Supersemar yang awalnya hanya perintah untuk memulihkan keamanan pasca G30SPKI, pelan-pelan digunakan untuk mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno.
Praktik-praktik merebut kekuasaan juga terjadi di partai politik. Perebutan itu kerap menimbulkan dualisme di tubuh partai, seperti yang pernah terjadi pada Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Perjuangan (PDI), dan partai-partai yang lain.
KLB Partai Demokrat
Kasus terbaru yang terjadi yang bisa dianggap relevan dengan torinya Laswell adalah Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang terjadi di Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (05/03/2021). KLB tersebut menghasilkan sosok Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebagai ketua umum partai dan Marzuki Alie sebagai ketua dewan pembina partai.
Akibat KLB tersebut, jadilah Partai Demokrat terbelah menjadi dua, kubu AHY dan kubu Moeldoko. Kedua kubu kini tengah bertarung di Kemenkumham untuk memperebutkan keabsahan partai.
Relevansi teori Laswell dengan peristiwa ini berkaca pada pendapat para pengamat yang menyatakan ada motif tertentu dari sosok Moeldoko dalam menguasai Partai Demokrat.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin menilai ada niat dari Moeldoko untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden di 2024. Dengan mengambil alih Partai Demokrat, peluang Moeldoko untuk maju semakin besar.
“Saya melihat rangkaian, rangkaian niat (Moeldoko) untuk bisa Capres atau Cawapres 2024. Jadi Kalau Demokrat berhasil diambil alih, maka dia (Moeldoko) punya tiket untuk itu, saya melihat seperti itu,” kata Ujang yang dikutip dari suara.com, Sabtu (06/03/2021).
Ujang mengatakan niat Moeldoko untuk maju sebagai peserta dalam Pilpres 2024 pernah disampaikan oleh salah satu staf Moeldoko di KSP.
“Sederhana saja, 2019 lalu, saya sudah mendengar dari stafnya di KSP, saya tidak sebutkan namanya, bahwa dia (Moeldoko) itu akan nyapres di 2024 itu. Artinya kalau dia nyapres, butuh kendaraan, butuh tiket,” lanjut Ujang.
Sementara itu John McBeth, jurnalis asal Selandia Baru, yang dilansir dari kompas.com, mengatakan motif lain dari Moeldoko selain menjadi Presiden adalah keinginan pemerintah untuk menguasai parlemen.
Dengan menguasai Partai Demokrat di parlemen, menurut McBeth, upaya untuk mengamankan tujuan amendemen UUD 1945 yang di antaranya pernah diwacanakan untuk mengembalikan GBHN di dalamnya sebagai arah pembangunan nasional menjadi semakin mudah. Selain itu juga untuk memuluskan wacana tiga periode masa jabatan Presiden Joko Widodo.
“Sejumlah pengamat menyatakan adanya skenario yang memberikan peluang bagi Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya hingga periode ketiga. Adapun dalam konstitusi sekarang, masa jabatan presiden dibatasi hingga dua periode,” tutur McBeth dalam analisisnya di Asia Times. (MN)
Klik Magazie Versi PDF
Komentar