Art of The Lie: Politik Kebohongan
Politicians have always lied. Does it matter if they leave the truth behind entirely?
Kutipan yang dimuat di media The Economist, edisi September 2016 diatas menggambarkan bagaimana hubungan mesra antara politik dengan kebohongan.
Sebagai teman dekat, politisi terus ditemani kebohongan dalam memperebutkan atau mempertahankan kekuasaannya.
Terjemah bebas kutipan di atas kira-kira politisi selalu berbohong, Apakah bermasalah andai politisi meninggalkan kebenaran seutuhnya?.
Melalui bukunya The Art of the Lie: How the Manipulation of Language Affects Our Minds, Marcel Danesi. seorang antropolog dan ahli semiotika linguistik dari Universitas Toronto Kanada, Amerika Serikat, secara apik mengurai bagaimana hubungan mesra politik dengan kebohongan.
Menurutnya, bahasa menjadi kunci menjalankan strategi untuk kebohongan. Bahasa sering digunakan untuk mempengaruhi bahkan membentuk persepsi publik. Danise mengungkap bagaimana seni kebohongan dijalankan. Teknik retorika, metafora, ironi, Bahasa slang dan humor dapat secara efektif memanipulasi pikiran publik.
Seiring didunia maya publik kurang begitu berminat akan apa yang benar dan apa yang salah, lebih tertarik pada sesuatu yang siftanya menghibur dan emosional.
Masyarakat menjadi tidak kebal dari kebohongan, Saat dimana media sosial menjadi senjata membangun fakta menjadi tidak relevan dan konspirasi menjadi dibenarkan. Kebenaran dapat dimanipulasi dengan seni bahasa, untuk memenangkan opini dan persepsi publik.
Inilah The Art of The Lie, dimana seni kebohongan berperan di dunia politik. Dan kebohonganpun selalu menemukan caranya dalam setiap zaman.
Terus Berevolusi
Berjalan sejak era filosof Yunani kuno Plato, Macjhiavelli, hingga era Donald Trump. Seni kebohongan disempurnakan untuk meraih kemenangan politik.
Hingga sekarang di era yang sering kita kenal yaitu post truth, yang semakin massif di era demokrasi digital, era sosial media.
Jika dahulu kebohongan dikemas sebagai “lidah tak bertulang atau pagi tempe sore kedelai”. Di era demokrasi digital mengalmai bergeseran.
Kebohongan dikemas sedemikian rupa kebohongan ditutupi dengan seolah-olah jujur dengan tujuan menghadirkan solah-olah benar di mata publik.
Alferd Lord Tennyson, penyair, Inggris mengistilahkan hal tersebut dengan kutipan A lie that is half-truth is the darkest of all lies (Kebohongan yang setengah kebenaran merupakan kegelapan dari semua kebohongan).
Berbohong dengan balutan informasi yang benar di awalnya. Informasi yang benar akan selalu logis, sehingga bisa merasuk ke pikiran orang. Setelah itu, barulah kebohongan-kebohongan disisipkan sedikit demi sedikit.
Itu sebabnya, Alferd Lord Tennyson mengatakan bahwa Kebohongan yang setengah kebenaran merupakan kegelapan dari semua kebohongan. Aktivitas politik yang mendorong tidak jujur ini sering kemudian dibungkus dengan dengan istilah ”white lies” alias berbohong demi kebaikan
Kebenaran kemudian dipermainkan, atau sering disebut dengan paltering. Praktik paltering mudah sekali dijumpai dengan aktor para paolitisi.
Maraknya fenomena ini sebagaimana dikupas dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Media BBC, pada November 2017 lalu.
Artikel berjudul The Devious Art of Lying by Telling the Truth. Mengupas seni seni berbohong dengan mengucapkan hal yang jujur. Disebutkan dalam artikel tersebut bagimana praktik mengelabui orang lain dengan ”menyatakan hal yang benar” kini sudah menjamur di masyarakat.
Iya, tengok saja saat menjelang masa-masa Pesta demokrasi. Permainan kebenaran sering dijadikan senjata oleh politisi. Saat berkampanye, saat berdebat, atau saat ditagih janji kampanye masa lalunya. Politisi bekerja keras dengan menyajikan fakta-fakta lain demi mengalihkan perhatian.
Sementara itu, Vrij, sebagaima diungkapkan dalam karyanya berjudul, Detecting Lies, Deceit and Deception: The Psychology of Lying and Implementation for Professional Practice mengkategorikan kebohongan pada dua jenis, kebohongan untuk orientasi sosial dan kebohongan untuk orientasi diri sendiri.
Kebohongan orientasi soial, social lies’, perilaku berbohong untuk tujuan memelihara hubungan sosial. Sedangkan self-oriented kebohongan agar pelakunya tampak tampil lebih baik di hadapan orang lain atau publik demi memperoleh keuntungan pribadi.
Bahasa menjadi kunci menjalankan strategi untuk kebohongan. Bahasa sering digunakan untuk mempengaruhi bahkan membentuk persepsi publik
Marcel Danesi
Bapak Kebohongan Modern
Jauh sebelum era digital dan post truth, Paul Joseph Goebbels, doktor filsafat kelahiran Rhineland, Jerman, 29 Oktober 1897 ini, dikenal sebagai “bapak kebohongan modern”.
Ia pelopor dan pengembang teori propaganda modern. Dimana teori itu ia beri nama Argentum ad nausem atau lebih dikenal sebagai teknik Big Lie (kebohongan besar).
Joseph Goebbels, meyakini bahwa bohong itu indah. Ada nilai seni dalam kebohongan. Keindahan seni kebohongan bisa menjadikan orang yang dibohongi terpesona, meski ia tahu dibohongi.
Doktrin Goebbels paling sohor adalah: “Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan!” Sedangkan kebohongan sempurna, kata Goebbels, adalah fakta kebenaran yang dipelintir sedikit saja.
Contoh nyata propaganda yang ia ciptakan sangat berhasil saat Goebbels menjadi konselir jerman, Menteri propaganda Nazi periode (13 Maret 1933 – 30 April 1945). Goebbels membangun propaganda dengan mengampanyekan bangsa Arya, ras Jerman tulen, adalah etnis paling jenius di muka bumi. Tentu untuk meruntuhkan klaim Yahudi yang mengaku bangsa pilihan Tuhan.
Goebbels, di masa itu juga mempelopori penggunaan media film dan radio untuk propaganda massal. Ia cukup berhasil menyebarluaskan doktrin Nazi. Bahkan pada 18 Februari 1943, ia gelorakan Perang Propaganda Total demi menaikkan moral balatentara Jerman di medan perang.
Goebbels kemudian menjadi orang ketiga yang paling populer di Jerman setelah sang Hitler dan Martin Bormann. Prinsip dari Teknik propagandanya adalah menyebarluaskan berita bohong melalu media sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan.
Bohong itu indah. Ada nilai seni dalam kebohongan. Keindahan seni kebohongan bisa menjadikan orang yang dibohongi terpesona, meski ia tahu dibohongi.
Paul Joseph Goebbels
Post-Truth
Belakangan teori Paul Joseph Goebbels ini terus dikembangkan. Kebohongan berevolusi sesuai dengan zaman. Saat ini kebohongan popular dengan istilah post-truth.
Post-Turth dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Pada tahun 2016, Oxford menjadikan kata post-truth sebagai “Word of the Year”.
Post-truth makin menggila seiring dengan adanya evolusi media. Fragmentasi sumber berita telah menciptakan dunia di mana kebohongan, rumor dan gosip menyebar dengan kecepatan yang tinggi. Membanjirnya media online, didukung dengan gelombang informasi melalui sosial media dapat menyebarkan kebohongan yang secara luas menyebar secara online dalam jejaring kuat dimana anggotanya saling percaya.
Problem masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar.
Media informasi alternatif sejenis facebook atau media sosial lainnya tidak selalu informasi/berita yang benar.
Prof. Dr. Amilin, Guru besar UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta. Dalam tulisannya jurnal ilmiah lemhanas RI edisi 39 september 2019 yang berjudul “Pengaruh Hoaks Politik Dalam Era Prost-Truth” mengurai bagaimana peristiwa Arab Spring yaitu konflik politik antara rezim yang berkuasa Bashar al Assad dengan kelompok oposisi terjadi akibat dari berita hoaks di era post-truth.
Akibatnya, penduduk di Syiria terjerumus ke dalam banjir informasi hoaks, masyarakat Syria hanyut terbawa arus kebohongan. Taka da klarifikasi dan verifikasi atas berita yang diterima mereka langsung menyerap mentah-mentah semua informasi itu yang cenderung mengadu-domba antara kelompok Islam Sunni dengan kelompok Islam Syiah.
Hal yang sama terjadi di negara adi daya Amerika Serikat. Sebuah studi di New York Times menemukan bahwa Presiden Trump membuat “pernyataan palsu yang salah, setidaknya pada 20 dari 40 hari pertamanya sebagai Presidensi,”.
Trump juga “mengatakan sesuatu yang tidak benar, di depan umum, setiap hari selama 40 hari pertama masa jabatan kepresidenannya.”
Hasil studi Times menyatakan Presiden Donald Trump adalah pembohong tanpa henti, kebiasaan dan kompulsif.
Studi lainnya, dari Washington Post mengungkapkan, Trump membuat klaim palsu dan menyesatkan dan menyatakan ketidakbenaran hampir setiap hari.
Sebagai presiden, Trump membuat 2.140 klaim palsu atau menyesatkan dalam 365 hari pertamanya di kantor, rata-rata 5,9 klaim palsu per hari.[YM]
.
Klik Magazine Versi PDF
Komentar