Demokrasi Indonesia, antara Oligarki, Kartel Politik dan Klientelisme
Oligarki, kartel politik dan praktik klientelisme disebut-sebut oleh para peneliti dan lembaga pemerhati perkembangan politik sebagai elemen-elemen yang dapat merusak dan bahkan menghancurkan demokrasi.
Sejatinya, fenomena politik di Indonesia sedang mengalami tidak hanya stagnasi dalam demokrasi namun juga kemunduran.
Jika diibaratkan dalam susunan hirakhis suatu bangunan, bangunan demokrasi Indonesia pada bagian hirarki teratas terjangkiti kronisme oligarki, pada bagian tengah dirusak oleh kartel politik dan pada bagian terbawah mengidap penyakit klientelisme.
Cengkeraman Oligarki
Jeffrey Winters dalam bukunya yang terkenal Oligarchy mendefinisikan oligarki sebagai “…concentrated material power based on claims or rights to property and wealth” (terkonsentrasinya kekuasaan atas materi yang didasarkan pada penegakan klaim-klaim atau hak-hak atas kepemilikan dan kekayaan).
Sementara itu, Robinson dan Vedi R Hadiz dalam Reorganizing Power in Indonesia mendefinisikan oligarki sebagai “A system of government in which virtually all political power is held by a very small number of wealthy…people who shape public policy primarily to benefit themselves financiallya…while displaying little or no concern for the broader interest of the rest of the citizenry”
(sistem pemerintahan yang dimana kekuasaan politik dipegang kekuasaan politik dipegang oleh segelintir orang kaya yang membuat kebijakan publik. Kebijakan tersebut hanya menguntungkan mereka sendiri secara finansial dan kurang atau sama sekali tidak memperhatikan kepentingan sebagian besar warganya.)
Dalam oligarki politik, keputusan-keputusan penting menyangkut kepentingan public tidak melibatkan warga sipil. Dan terkesan bahwa suara-suara yang digaungkan oleh institusi yang mewakili masyarakat seperti masyarakat madani, asosiasi dan serikat profesi, ormas dan LSM cenderung diabaikan peranannya.
Oligarki eksekutif dan legislatif dengan leluasa melakukan berbagai cara untuk memproduksi berbagai produk hukum dan seganap regulasi yang dapat menguntungkan mereka sendiri secara finansial. Mereka kurang memperhatikan kepentingan public.
Jeratan Kartel Politik dan Melemahnya Oposisi
Melalui sokongan kartel politik, oligarki politik juga melakukan revisi atas Undang-Undang No 30 tahun 2002 KPK menjadi Undang-Undang No 19 tahun 2019 tentang KPK; Revisi Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang Minerba menjadi Undang-Undang No 3 tahun 2020 tentang Minerba; dan pengajuan RUU Omnibus Law sejak Oktober 2019 menjadi Undang-Undang 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dan uniknya, dlam perubahan dan pembentukan Undang-Undang tersebut, publik tidak dilibatkan. Parahnya, ketika masyarakat sipil memprotes dan menggugat produk Undang-Undang tersebut, lembaga yudikatif yang diwakili MK dan MA yang disokong oligarki malah menolaknya.
Fenomena seperti ini cukup mudah untuk dipahami. Pernah suatu ketika ditanya soal linguistik dan politik, Noam Chomsky memberikan jawaban yang cukup menggelitik: ‘Linguistics is difficult, politics is easy: the rich screw the poor’ (Linguistik itu susah, politik itu mudah: orang kaya mengeksploitasi orang miskin).
Dalam studi oligarki yang dilakukan Winters, Bogaards membahasakan kembali kata-kata Chomsky ini dengan menegaskan: ‘The super-rich screw the poor, the middle-classes, the not-so-filthy-rich, and each other, especially each other – if they can’.
Tujuan utama super-rich sama: mempertahankan kekayaan, termasuk melalui kekuasaan, dengan membeli produk-produk hukum dan segenap kebijakan yang menguntungkan mereka. Demokrasi Indonesia pun dikendalikan mereka.
Namun oligarki juga tidak sendirian dalam menurunkan kualitas demokrasi.
Oligarki akan terus memperkuat cengkramannya dengan semakin kuatnya koalisi politik kartel pada fraksi-fraksi di DPR. Fraksi PDIP, Fraksi Golkar, Fraksi Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Gerindra, Fraksi PPP, dan yang terakhir bergabung, Fraksi PAN merupakan bentuk jejaring kartel politik.
Pada mulanya, di masa pemilihan partai-partai ini bersaing memperebutkan kursi kekuasaaan, namun ketika pemilu selesai, mereka berlomba-lomba bergabung untuk memperoleh keuntungan dari kekuasaan. Mereka membentuk pemerintahan.
Dalam sistem kartelisme politik yang khas Indonesia, partai politik cenderung ingin mendekatkan diri pada lingkaran kekuasaan, lalu mendapatkan sumber finansial darinya.
Linguistik itu susah, politik itu mudah: orang kaya mengeksploitasi orang miskin
Noam Chomsky
Ketiga tren perusak demokrasi ini memang sulit untuk diatasi. Trio perusak demokrasi di Indonesia ini juga makin dikukuhkan oleh dominasi militer dalam kancah perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia.
Abdul Aziz
Akibatnya, tidak ada check and balances, tidak ada control dan pengawasan. Karuan dalam sejarahnya, politik di Indonesia sepertinya masih kurang siap untuk membangun oposisi yang berani mengontrol, mengawasi dan mengkritik secara objektif kebijakan-kebijakan pemerintah.
Oposisi di Indonesia seringnya mudah dibujuk untuk bergabung dan berbagi kue kekuasaan. Akibat dari ketiadaan oposisi yang imbang, koalisi partai-partai gemuk pro-rezim saat ini dapat melakukan langkah politik apa pun. Ini yang kita khawatirkan.
Jeratan Klientalisme
Demokrasi kita juga mengalami kemunduran terutama karena adanya praktek klientelisme di akar rumput.
Klientalisme secara jelasnya menurut Katz didefinisikan sebagai praktik distribusi keuntungan material secara selektif kepada individu-individu atau kelompok tertentu sebagai imbalan atas dukungan politik.
Lebih jauh, Stokes mendefiniskan klientelisme sebagai aktifitas politisi yang menukarkan produk dengan suara pemilih pada saat pemilu.
Melalui definisi ini, terlihat bahwa klientalisme erat kaitannya dengan pemilu. Klientalisme merupakan cara untuk mengamankan suara pemilih.
Dengan kata lain, masyarakat pemilih dijual suaranya dalam pemilu. Sebelum dan sesudah pemilu, politisi membagi-bagi sumber material agar mendapatkan dan mempertahankan loyalitas pemilih.
Politik Gentong Babi
Yang sedikit mirip dengan praktik klientalisme ini ialah pork barrel atau politik gentong babi. Politik gentong babi merupakan politik distribusi, yakni ketika elit politik menyalurkan sumber daya material seperti anggaran dalam bentuk hibah dan lain-lain kepada daerah yang memilihnya atau daerah tertentu.
Dalam politik ini, masyarakat seolah tersihir persepsi bahwa kalangan elit yang mendistribusikan sumber daya material tersebut berhasil mengeluarkan kebijakan tertentu yang tentunya dapat memuaskan pemilih.
Perbedaan antara klientalisme dan politik gentong babi terletak pada soal adakah kaitan antara transaksi atau tukar menukar keuntungan dalam mendistribusikan sumber daya material dengan loyalitas.
Dalam klientalisme, proses tukar menukar sumber daya ini terjadi secara tidak seimbang antara patron dan klien dimana klien dituntut memiliki loyalitas tertentu karena sudah terikat dengan pemberian/dijanjikan sumberdaya material jika menang dalam pemilu.
Sementara itu, politik gentong babi lebih ke upaya mendistribusikan sumberdaya material tanpa terikat sebelumnya dengan adanya transaksi tukar menukar sumberdaya material.
Ketiga tren perusak demokrasi ini memang sulit untuk diatasi. Trio perusak demokrasi di Indonesia ini juga makin dikukuhkan oleh dominasi militer dalam kancah perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia.
Oleh karena itu, penguatan institusi, khususnya masyarakat sipil/madani yang kuat, pers yang bebas dan aktif, pengadilan yang independen, dan pemilihan umum yang adil, akan menjadi penting dalam menghancurkan basis-basis yang mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.[]
Oleh : Abdul Aziz [Direktur Riset Bidang Budaya dan Agama Dialektika Institute]
.
KLIK Magazine Versi PDF
Komentar