Demokrasi Kriminal
Demokrasi Indoensia saat ini berada pada titik kritis, para pakar dan ahli mengungkapkan bagaimana demokrasi di Indonesia telah dibajak oleh oligarki.
Para oligarkh dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan sistem demokrasi di Indonesia. Mereka dengan lihai memainkan peran dimana demokrasi di dikendalikan dengan kekuatan uang.
Oligarkh mengatur, mendesain, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya yaitu mempertahankan kekayaannya dan melalui pengendalian terhadap institusi bahkan individu dalam negara.
Dalam kondisi yang demikian, oligarki mengendalikan penuh sistem politik Indonesia, hingga membawa Indonesia pada jurang yang dalam bernama demokrasi kriminal?.
ya, oligarki telah mengalahkan sistem demokrasi Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang.
Jeffrey Winters, Pengamat politik dari Universitas Northwestern Amerika Serikat. mengungkapkan melalui hasil risetnya, sistem demokrasi di Indonesia telah dibajak oleh kekuatan uang, kekuatan koruptif dan money politics.
Para oligarkh mengendalikan politik Indonesia melalui kekuatan uang. Sehingga menjadikan Indonesia terjatuh pada situasi demokrasi kriminal.
Lebih jauh, riset Winters menunjukkan bagaimana para oligarkh secara teratur ikut serta dalam hajatan Pemilu sebagai alat berbagi kekuasaan politik dan mempertahankan kekayaannya. Karenanya, Winters melabeli demokrasi Indonesia sebagai demokrasi kriminal.
“Demokrasi Indonesia paling tepat disebut sebagai demokrasi kriminal”. Sebagaimana diuraikan Winters dalam sebuah forum diskusi di Kampus UGM Yogyakarta.
Inilah kemudian yang menjadi persoalan utama Indoensia, bagiamana menyandang negara demokratis tapi tidak berdampak pada perubahan, tidak berimplikasi pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Salah satu penyebab uatamanya, kata Winters adalah bagaimana di Indonesia dengan Pemilu yang demokratis tapi menghasilkan para elit yang korup.
Winter menemukan bahwa praktik korupsi masih menjadi persoalan yang akan sulit diselesaikan oleh bangsa Indonesia.
Negara Tanpa Hukum
Lebih jauh, Winter juga mengurai bagaimana negara Indonesia adalah negara demokrasi tanpa hukum. Menurutnya, situasi di Indonesia sangat parah, dengan posisi saat ini dimana Indonesia merupakan negara demokrasi yang tanpa hukum.
“Hukum tunduk pada penguasa, bahkan ada figur yang melebihi institusi. Ini semua menurtunya akibat dari oligarki”. Urai Winters dalam sebuah forum diskusi di UGM sebagaimana dikutip dalam situs https://www.ugm.ac.id.
Bagaimana posisi Indonesia menjadi negara demokrasi tanpa hukum? menurut pengamtan Jeffrey Winters bahwa pasca jatuhnya rezim Soeharto, sistem demokrasi di Indonesia justru beralih pada sistem oligarki.
Akibatnya, hukum yang diharapkan bisa membatasi serta mengawal pemerintahan tidak berfungsi sama sekali. Inilah petaka demokrasi Indonesia, sebuah negara demokrasi tanpa memiliki hukum, hukum yang berlaku justru tunduk pada punguasa.
Jadi, Winter ingin menegaskan bahwa problem di Indonesia bukanlah sistem demokrasi, melainkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
“Demokrasi tanpa hukum dampaknya adalah demokrasi kriminal. Hukum disini justru tunduk kepada penguasa,”. Kkata Jeffrey dalam Diskusi Publik Oligarki dan Korupsi: Perspektif Ekonomi-Politik dan Hukum di Fakultas Hukum UGM, Jumat (15/4/2011). sebagaiana dilansir dalam situs UGM.ac.id.
Hal tersebut semakin diperkuat oleh Richard Robison dan Vedi R. Hadiz (20014:12), melalui bukunya yang berjudul “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market” keduanya menjelaskan jika oligarki yang terjadi di Indonesia tidak hilang pasca reformasi.
Justru oligarki terus bertransformasi dengan cara menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh Neoliberalisme.
Setelah kejadian krisis ekonomi pada tahun 1998, oligarki bisa bertahan dan menjadi tokoh utama di dalam dunia bisnis di Indonesia.
Anita Febriani, dalam artikelnya dimuat di jurnal ilmiah Widya Sisiopolitika mengungkapkan, Oligarki pada masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto semula bersifat oligarki sultanistik dan saat ini bertransformasi menjadi oligarki penguasa kolektif.
Para penguasa saling bekerja sama dalam mempertahankan kekayaannya dengan masuk ke dalam suatu komunitas jabatan yang memiliki otoritas.
Anita Febriani, dalam studinya mengurai bagaimana praktik oligarki dijalankan. Kasus pertambangan di Kalimantan Timur menjadi salah satu studinya. Ia mengutip salah satu film dokumenter berjudul Sexy Killers.
Menurutnya, film tersebut menyuguhkan alur bagan yang jelas pemain batubara di dalamnya. Meski terlihat sebagai individu atau kubu yang saling bersaing di ranah politisi, namun sejatinya mereka terhubung antar satu sama lainnya. Hubungan tersebut sejatinya memiliki satu tujuan yang sama. Pembisnis berkedok politisi diranah pemerintahan mengakibatkan sistem mau tidak mau harus mentaati dan membungkam setiap misi.
Anita, menambahkan dalam uarainnya, bahwa kekuasaan minoritas oligarki semakin terpecah ketika kaum elite menjadi petinggi. Otoritas yang dikendalikan tidak akan mampu membuat jajaran pemerintah dibawahnya melawan kendali. Kekuasaanpun terpecah pada setiap daerah.
Praktik tersebut menurut Anita sejalan dengan teori oligarki Winters yang menyatakan bahwa oligarki dapat dilihat dengan ciri dasar kekuasaan minoritas oligarki. Minoritas didasarkan kepada konsentrasi ekstrem kekuasaan dan dibuyarkan dengan pemecahan kekuasaan tersebut secara radikal.
Anita menyimpulkan dalam tulisannya bahwa oligarki dipahami sebagai lingkaran kekuasaan yang menekan kaum minoritas. Berbagai potret memperlihatkan bahwa oligarki memiliki sejumlah dampak kerugian. Dampak yang paling terlihat akibat oligarki yaitu adanya kesenjangan antara kelas sosial.
Oligarki terus bertransformasi dengan cara menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh Neoliberalisme.
Richard Robison
Oligarki menurut Winters, lebih banyak berbasis pada uang dan kekayaan serta dimiliki oleh sejumlah elit. Sedangkan elit sejauh ini lebih banyak didukung berdasarkan status, posisi resmi, kapasitas mobilisasi, dan kekerasan.
Meskipun jumlah oligark kecil mereka menguasai hukum dan institusi. Oligarki berbasis uang dan kekayaan mengontorl dan mengendalikan negara.
Ia juga mencontohkan berkuasanya sistem oligarki yaitu banyaknya aset miliaran dolar milik orang Indonesia bahkan yang ada di luar negeri. Bahkan, kekayaannya ada yang mencapai 25% dari GDP Indonesia. Konsentrasi keuangan Indonesia mungkin bisa berlipat dibandingkan Thailand, Malaysia, serta Singapura.
Menurut Winters, Teori oligarki mampu menjelaskan mengapa dan bagaimana pembajakan demokrasi terjadi. Winters menjelaskan bahwa kekayaan yang
terkonsentasi di tangan individu- individu tertentu memperkuat mereka menghasilkan jenis politik oligarki yang tidak dapat tertangkap oleh kerangka generik pluralis (Winters, 2011:16).
Winters tidak memandang pelaku sebagai kaum mahakaya diantara kelompok bersaing. Teorinya menyoroti pada kekuasaan lain yang ada di dalam masyarakat.
Menurutnya, kekayaan akan selalu berpengaruh besar terhadap kemampuan oligarki mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan utamanya. Teori ini membuktikan bagaimana demokrasi seolah telah menjadi sistem yang tidak lagi berfungsi.
Kasus Oligarki Amerika
Winters juga menemukan dalam penelitiannya bahwa di Amerika Serikat terjadi kesenjangan selama hampir sepuluh tahun. Padahal mestinya AS sebagai negara yang demokratis dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagai warganya.
Jeffrey mengungkapkan mengapa demokrasi AS makin lama mengalami kesenjangan dalam hal distribusi kekayaan, meskipun AS mengalami kemajuan di bidnag lainnya.
Problem utamanya justru datang dari persoalan partisipasi demokrasi. Kaum miskin mestinya memiliki potensial suara namun di AS dilemahkan dalam berbagai aspek misalnya informasi, partisipasi, keahlian, dan sumber daya.
Hal ini sebagaimana diuraikan pada hasil penelitian American political Sciences Associatatioan (APSA). Penelitian APSA menemukan bahwa di AS sistem demokrasi dilemahkan, pemerintah mematikan sistem demokrasi melalui pengendalian institusi hukum, yaitu penegakan hukum hanya kepada kelompok yang lemah dan hukum seolah tidak berfungsi saat dihadapkan pada kaum elit.
Studi APSA juga mengungkapkan bagimana kesenjangan di AS juga terjadi akibat tidak meratanya kebijakan pajak. Kalangan elit menggeser pajak ke kalangan bawah, kaum penguasa mampu menggeser beban pajak hingga tidak merata secara proporsional. Inilah yang menjadi faktor ketidak merataannya kemakmuran di Amerika.
Basis (akar, sebab fundamental) dari demokrasi kriminal adalah candidate threshold
Rizal Ramli
Kandidat Threshold
Sementara itu, sebagaimana dikutip oleh beberapa media nasional bahwa menurut Rizal Ramli basis (akar, sebab fundamental) dari demokrasi kriminal adalah candidate threshold atau ambang batas dukungan partai politik yang dibutuhkan seseorang untuk mencalonkan diri menjadi presiden, gubernur, bupati atau walikota.
Hal ini menurut Rizal Ramli membuka ruang peluang perselingkuhan antara penguasa dengan para oligarkh. Melalui kekuatan uang, oligarkh merancang skenario berkolusi dengan penguasa mengincar sumberdaya alam, anggaran negara atau akses penentuan kebijakan politik.
Kolusi oligarki dan penguasa ini, tidak bisa tidak, menciptakan korupsi di tingkatan tertinggi eksekutif, baik di pemerintahan pusat maupun daerah. Kolusi oligarki dengan penguasa merusak prinsip dan praktek pemerintahan yang baik. Transparansi, partisipasi dan akuntabilitas yang sempat merebak sekarang melayu dengan cepat.
Rizal Ramli juga menyoroti bagaimana praktik itu terjadi di level nasional yaitu Pilpres. Menurutnya, selepas Pilpres 2019 kolusi oligarki dan penguasa melaju semakin cepat.
Kolusi melibatkan lembaga legislatif. Kolusi oligarki, eksekutif dan legislatif melahirkan perundang-undangan kriminal yang memberikan kekebalan hukum kepada penguasa sehingga menjadi sangat leluasa merampok keuangan negara, hak-hak petani dan buruh, kekayaan alam dan lingkungan yang adalah hak generasi masa depan.
Hal ini sejalan dengan Andreas Ufen seperti yang dikutip oleh Hardiman pada buku dalam moncong oligarki (2017:34) yang mengatakan, partai politik di Indonesia memiliki kecenderungan berkembang menjadi partai kartel yang mana, secara otomatis, akan mengambil kebijakan yang menguntungkan bagi kepentingannya. Sehingga, partai politik hari ini tidaklah menjadi sarana kepentingan rakyat.
Konsekuensinya, dengan maraknya kejahatan legislasi hari ini, suara rakyat pada pemilu dirasa hanyalah bersifat transaksional.
Praktik klientelisme kemudian menjadi sulit dilepaskan dari setiap hajatan Pemilu di Indonesia. Politik transaksional dari level atas hingga bawah menunjukkan betapa parahnya praktik pelumpuhan sistem demokrasi oleh para oligarkh, oligarkh liar menjadi momok menakutkan, menjadi monster pembunuh demokrasi.
Klik Magazine Versi PDF
Komentar