Pemimpin Ideal
Pasca kemerdekaan RI 1945, estafet kegagalan kepemimpinan negara Indonesia tidak pernah mengalami titik terang.
Mulai dari kegagalan politik dan ekonomi di era pemerintahan Sukarno, kegagalan tinggal-landas di era pemerintahan Suharto, serta kegagalan demokratisasi dan lunturnya ideologi di tangan para pemimpin Indonesia era reformasi hingga sekarang.
Berkali-kali pesta demokrasi digelar di negeri ini, menghabiskan APBN terilyunan rupiyah, namun rakyat tak kunjung menemukan sosok pemimpin yang bisa membawa pada kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kemakmuran, dan sekaligus menjadi teladan atau panutan rakyat. Yang ada hanya ritual pergantian pemimpin yang diwarnai dengan kecurangan, kekerasan, suap menyuap, dan sikap ketidak dewasaan dalam berpolitik.
Meminjam istilah Olle Tornquist, proses demokrasi di Indonesia sejauh ini, hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, dengan melahirkan para negarawan yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Proses demokrasi yang buruk tersebut tak lepas dari kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih rendah akan pendidikan politik, sehingga tidak mau berpikir panjang dalam menjatuhkan pilihan sosok pemimpin dalam sebuah penyelenggaraan pesta demokrasi.
Rakyat masih mudah tertipu dengan hal-hal yang bersifat iming-iming, janji-janji manis, dan pemberian imbalan materi yang bersifat sesaat.
Seolah masyarakat lupa bahwa falsafah jawa telah memberi petunjuk yang jelas mengenai kriteria seorang pemimpin yang bisa membawa nusantara ini pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Falsafah Jawa
Falsafah jawa mengajarkan bahwa seseorang akan menjadi pemimpin jika ia mendapatkan wahyu kedaton. Raja-raja kerajaan jawa mendapatkan wahyu kedaton berkah dari kekuatannya yang luar biasa, raja tidak lain adalah para “super jago” atau orang pilihan.
Dalam konteks negara demokrasi, Raja tidak lain adalah Presiden. Sementara wahyu yang harus didapat dari Presiden adalah berupa dukungan rakyat mayoritas, untuk itu wahyu Presiden tidak lain adalah rakyat, karena dalam sistem demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan.
Lantas siapakah yang berhak menjadi seorang pemimpin? Siapakah yang berhak mendapatkan wahyu berupa dukungan rakyat mayoritas? Falsafah jawa mengajarkan bahwa kepemimpinan bukan monopoli beberapa orang, sebab Tuhan memberi kesempatan kepada siapa saja.
Untuk itu yang berhak menjadi seorang pemimpin adalah mereka yang selalu berupaya, berusaha, dan berjalan menuju kesempurnaan. Orang yang demikianlah nantinya yang berhak menjadi pemimpin.
Tepat pada tahun 2024, rakyat Indonesia akan dihadapkan pada persoalan menentukan pemimpin baru untuk periode lima tahun yang akan datang. Hiruk pikuk mulai ramai tentang pencapresan. Babak permulaan terlah dimulai.
Karenanya, agar rakyat tidak lagi keliru dalam menentukan pemimpin, ada beberapa kriteria dan konsep dalam kepemimpinan jawa yang kiranya perlu diperhatikan oleh masyarakat Indonesia.
Dimana kriteria dan konsep tersebut dapat ditafsirkan dan dirumuskan dalam konteks negara modern atau negara penganut demokrasi.
Dalam Serat Wulang Reh dijelaskan bahwa seorang pemimpin apabila tidak memahami tanda-tanda kehidupan kepemimpinannya cenderung tidak punya arah.
Pemimpin yang demikian cenderung cinta dan mengabdikan hidupnya hanya pada kekuasaan, harta, dan jabatan. Bahkan buta akan kesejahteraan, kedamaian, kemakmuran dan keadilan rakyatnya.
Gadjah Mada, orang yang sukses membawa kemajuan Nusantara,–mengerti akan apa arti sebuah kepemimpinan, bagaimana cara membangunnya dan bagaimana cara menjalankan kepercayaan—, telah memberi peninggalan pada masyarakat jawa mengenai sosok pemimpin ideal dan kunci kerberhasilan sebuah negara.
Proses demokrasi di Indonesia sejauh ini, hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, dengan melahirkan para negarawan yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan
Enam Kriteria
Menurutnya pemimpin besar harus memiliki enam kriteria, abhikamika simapatik, prajna arif dan bijaksana, ustada proaktif, atmasampat berkepribadian luhur, sakya samanta bisa mengontrol, aksuda parisakta akomodatif dan cerdik dalam berunding, dan “stabilitas” adalah kunci keberhasilan membangun sebuah negara.
Gadjah Mada juga mewariskan lima cara yang harus dimiliki seorang pemimpin besar dalam menjalankan roda kepemimpinan, handayani hanyakra purana senantiasa memberi motifasi pada bawahan, madya hanyakrabawa dekat dengan rakyat dan selalu terlibat dalam pelaksanaan pengambilan keputusan,
Ngarsa hanyakrabawa, menjadi teladan bagi rakyatnya, ngarsa bala wicara menggunakan cara yang cerdas, kreatif dan inofatif dalam menjalankan kepemimpinan, ngarsa dana upaya memiliki pengabdian dan pengorbanan yang besar demi rakyat dan negara.
Ajaran hasta brata terdiri dari delapan perwatakan alam, seorang pemimpin
Falsafah Jawa
Selain peninggalan ajaran Gadjah Mada, seorang pemimpin yang baik, menurut falsafah jawa adalah mereka yang mau meneladani perwatakan alam atau ajaran hasta brata.
Yaitu ajaran yang dipetik dari serat rama jarwa yaitu ajaran keteladanan kepemimpinan delapan Dewa yakni, Dewa Endra, Dewa Surya, Dewa Bayu, Dewa Kumara, Dewa Baruna, Dewa Yama, Dewa Candra, dan Dewa Brama.
Ajaran hasta brata terdiri dari delapan perwatakan alam, seorang pemimpin harus; (1) berwatak bumi, seorang pemimpin harus suka berderma, memberi dan menerima sebagaimana watak bumi (2) berwatak air, seorang pemimpin harus punya sikap rendah hati, tenang, dan lemah lembut (3) berwatak angin, seorang pemimpin harus mengerti persoalan masyarakat, karena ia akan menghadapi berbagai persoalan dan kebijakan penting.
(4) berwatak lautan, pemimpin harus luas hati, siap menerima keluhan dan siap menerima beban yang berat tanpa keluh kesah (5) berwatak rembulan, pemimpin harus selalu memberi penerangan pada siapa pun dengan keindahan religiusitas dan spiritualitas (6) berwatak matahari, pemimpin harus memberi daya, energi, kekuatan atau power terhadap rakyatnya.
(7) berwatak api, pemimpin harus selalu bisa menyelesaikan masalah dengan adil dan tidak pilih kasih dan (8) berwatak binatang, seorang pemimpin harus mempunyai kepribadian luhur dan cita-cita yang tinggi (Arwan Tuti Artha, Satria Pinili, hlm. 12-15).
Dimana ajaran hasta brata ini merupakan ajaran yang diberikan oleh Prabu Rama Wijaya kepada Prabu Wibisana sebelum naik takhta ke kerajaan Alengka.
Dan delapan ajaran hasta brata tersebut dijadikan sebagai pedoman bagi perilaku raja-raja besar agar seorang pemimpin menjadi sosok pemimpin yang adil, berwibawa, arif dan bijaksana.
Ajaran falsafah jawa tentang kriteria pemimpin ini mungkin bisa menjadi solusi baru untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat agar rakyat tidak lagi sembrono dan bisa menimbang secara matang dalam menetapkan sosok pemimpin yang sempurna, terutama pada Pemilu 2024.[YM]
KLIK Magazine Versi PDF
Komentar