Politik Muka Tembok ; Praktik Politik Munafik

Model sistem Pemilu langsung di Indonesia melahirkan banyak fenomena dan perilaku politik yang beragam. Politik pencitraan, politik uang, politik transaksional, politik identitas, politik SARA hingga politik muka tembok dan munafik menjadi fakta yang nyata sedang melanda bangsa Indonesia.

Dari sekian banyak fenomena yang ada, yang jamak dijumpai tentu saja adalah praktik politik muka tembok, politik hipokrit, politik tak tahu malu, politik penuh dengan kemunafikan.

Demi mencapai kepentingan politik dan kemenangan dalam kontestasi, kontestan sering tak peduli dengan norma etika dan tanggungjawab. Atas dalih kepentingan politik, mereka mempraktikkan perilaku politik muka dua, politik muka tembok, politik tak tahu malu.

Dalam konteks kajian agama, kemunafikan bisa merujuk pada perbuatan kesalehan yang ditunjukkan untuk menipu orang lain. Seseorang yang munafik disebut bermuka-dua: mengenakan topeng kesalehan untuk menutupi sifat buruknya.

Dalam The Fable of the Bees (1970), filsuf Bernard Mandeville (1670-1733) memasukkan konsep kemunafikan sebagai antitesis kesalehan. Dalam karyanya itu, Mandeville menyerang pandangan Shaftesbury (1671-1713) dan para moralis awal abad XVIII lainnya yang percaya bahwa manusia secara alami bersikap baik dan sangat mungkin bersikap saleh.

Namun, Mandeville menganggap pandangan itu merupakan suatu bentuk penyangkalan terhadap sifat hakiki seseorang yang pada dasarnya penuh nafsu.

Dalam buku An Enquiry into the Origins of Honour and the Usefulness of Christianity in War (1971), Mandeville menjelaskan lebih lanjut bahwa politisi munafik adalah orang yang berpura-pura saleh, dan mereka tahu kepura-puraan itu salah.

Mereka memperlihatkan kesalehan dan ketaatan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mendapatkan kepercayaan.

David Runciman, profesor politik dari Universitas Cambridge London, dalam bukunya yang berjudul Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond. Princeton University Press 2010. Membedah secara apik tentang praktik politik kemunafikan.

David Runciman, mengungkapkan teorinya tentang politik muka dua alias politik yang sarat dengan wajah kemunafikan dan sikap standar ganda. Politik munafik menurut Runciman menjadi praktik politik di semua level. Kemunafikan selalu muncul dalam berbagai bentuk, meski sulit untuk diidentifikasi.

Pemikiran Runciman brangkat dari pemikiran politik modern – Hobbes, Mandeville, Jefferson, Bentham, Sidgwick, dan Orwell – dan menerapkan ide-idenya untuk berbagai jenis kasus politisi munafik dari Oliver Cromwell ke Hillary Clinton.

Runciman bahkan mengatakan melalui bukunya tersebut para filosof seperti Thomas Hobbes sampai George Orwell tidak luput dari mendiskusikan politik hipokrit. Dimana para pemikir berada pada satu kesimpulan bahwa praktik politik hipokrit memang benar-benar ada.

Bahkan dengan tegas Runciman menyatakan di politik kita harus menerima kemunafikan sebagai fakta politik.

Praktik politik yang demikian menurutnya bisa berimplikasi buruk bagi perkembangan politik. Karenanya Runciman mengajak untuk perlahan menanggalkan praktik politik dengan segala bentuk kemunafikan. Disaat yang bersamaan tetap berupaya mencari politisi jujur dan otentik. Atau setidaknya harus dicoba mulai membedakan antara politik kemunafikan yang berbahaya dan jenis-jenis praktik politik kemunafikan yang dapat menimbulkan kerusakan atau berdampak buruk.

David Runciman

Elang Maulana, seorang penulis kompasiana pernah mengungkapkan pendapatnya. Praktik politik hipokrit dijalankan biasanya dengan seorang politisi menggunakan topeng politik untuk menyembunyikan wajah aslinya. Biasanya politisi sembunyi dibalik jargon-jargon dan janji-janji politik yang paripurna, yang digunakan untuk menutupi kedok untuk menutupi perilku buruknya.

Contohnya mudah saja kita jumpai, misalnya ada Parpol di Indonesia menggunakan jargon anti korupsi, mengkampanyekan perang melawan korupsi. “Katakan Tidak Pada Korupsi,” salah satu petinggi Parpol di Indonesia pernah menjadikan sebagai jargon politiknya tapi disaat bersamaan ia justru menjadi aktor kruptornya.

Ada juga Parpol yang mengusung jargon dengan slogan “Bersih dan Peduli.” Tak lama berselang, petinggi Parpol dan kadernya justru terkuak skandalnya dan menyingkap “topeng” bersih itu.

Dalam konteks politik di Indonesia, sikap kemunafikan politisi (politik muka dua) ini dapat diterjemahkan sebagai strategi mengelabui atau menipu pemilih (konstituen)

Asrudin

Kelabuhi Pemilih

Asrudin, penulis kolom di Jawapos pernah menguraikan bagaimana praktik politik muka tembok dijalankan. Sebagaimana tulisannya yang dimuat di Kolom Opini Koran Jawa Pos, 04 Februari 2013, hlm.4.

Asrudin mengatakan, dalam konteks politik di Indonesia, sikap kemunafikan politisi (politik muka dua) ini dapat diterjemahkan sebagai strategi mengelabui atau menipu pemilih (konstituen).

Namun, menurutnya politisi sering lupa, sikap ini bisa menjadi bumerang jika mereka lengah dan memiliki celah untuk dikasuskan secara hukum atau dijadikan sasaran kritik, baik oleh media ataupun lawan politiknya.

Asrudin mengutuip Runciman, istilah kemunafikan berakar dari dunia teater dan agama. Di atas panggung para aktor sering berpura-pura memainkan peran yang sama sekali bukan dirinya. Di luar panggung, kepandaian mereka menampilkan lebih dari satu wajah dapat menimbulkan potensi tidak dapat dipercaya. Sebagaimana aktor yang dinilai oleh penontonnya.

Nah, politisi sebagai aktor yang juga diamati publik. Menurut Asrudin mereka akan selalu menunjukkan wajah kebaikan, namun sering bukan wajah yang sesungguhnya, untuk mendapatkan tepuk tangan meriah pendukung dan meredam pengkritiknya. Usaha memainkan peran, baik oleh aktor dan politisi ini, menurut Runciman, adalah kemunafikan yang menyuguhkan penipuan jenis tertentu.

Tumbuh Subur

Lantas, mengapa politik hipokrit atau muka tembok ini tumbuh subur di Indonesia?

Elang Maulana menguraikan bahwa politik muka dua tumbuh dan beroperasi seiring dengan pergeseran panggung politik menjadi panggung drama. Politik disulap sedemikian rupa menjadi arena perang citra dan tebar pesona. Jauh dari makna dan realita sebenarnya.

Inilah politik muka tembok, politik tak tahu malu. Dalam tradisi jawa sering kita mendengar istilah (isuk tahu sore tempe) pagi tahu sore tempe. Politik penuh dengan kemunafikan, politik yang tidak bermoral, politik yang mengabaikan kejujuran dan tanggungjawab.

Saking massifnya, sampai-sampai hari ini kita susuah membedakan atau bingung antara mana yang jujur, mana yang pura-pura jujur dan mana yang tidak jujur. Sebab perilaku politisi selalu menyampaikan pesan, prilaku dan tindakannya selalu tak lepas dari ‘topeng’.

Asep Sahid, pengamat politik yang juga dosen FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung, pernah mengatakan sebab menjamurnya politik muka tembok melalui artikelnya yang dimuat di Republika pada 06/03/2013.

Menurut Asep Sahid, Politik muka tembok tumbuh subur di Indoensia seiring dengan politik pencitraan dan beroperasi bersamaan dengan pergeseran panggung politik menjadi panggung drama.

Politik pencitraan membawa kontestasi menjadi arena perang citra, yang sangat jauh dari makna dan realita yang sebenarnya. Politik kemunafikan jika ditelusuri lebih menurut Asep Sahid berakar dari peran dalam membangun politik pencitraan. Menurutnya, orang-orang munafik adalah para aktor panggung, dalam bahasa Yunani, dikenal dengan istilah hypokrisi, yang berarti memainkan suatu bagian dengan sikap berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya.

Politik muka dua tumbuh dan beroperasi seiring dengan pergeseran panggung politik menjadi panggung drama. Politik disulap sedemikian rupa menjadi arena perang citra dan tebar pesona. Jauh dari makna dan realita sebenarnya.

Elang Maulana

Jebakan Hipokrasi

Bahaya politik kemunafikan juga pernah diuraikan dengan apik oleh Goffman, Goffman mengatakan bahwa politik muka tembok atau topeng politik sama dengan politik panggung depan. Sebuah drama aksi pertunjukan, tak pernah menyampaikan yang sebenarnya.

Goffman menyebutnya dengan meinjam istilah Yunani yaitu Hipokrasi Politik.

Hipokrasi politik biasanya berbentuk dalam beberapa model misalnya praktik kampanye hitam, bualan politik, gap antara kata dan tindakan selama ini.

Kebohongan-kebohongan antara yang diucapkan sekarang dan yang akan dilakukan nanti, menampilkan topeng dengan menyembunyikan aslinya dibalik topeng. Tujuannya ialah agar politisi mendapatkan popularitas dan elektabilitas politik.

Dengan goal tentu saja meraih kemenangan dan merebut kekuasaan sebagai muara akhirnya.

Inilah yang kemudian oleh Catherine Weaver (2008) disebut dengan istilah jebakan hipokrasi. Melalui karyanya Hypocrisy Trap: The World Bank and The Poverty of Reform, Weaver mengatakan hipokrisi muncul ketika yang disampaikan di mulut berbeda dan bertolak belakang dengan praktiknya.

Lasarus Jehamat, Dosen Fisip Undana Kupang mellaui artikelnya di media Indonesia (26/11/2022) menguraikan apa itu jebakan hipokrasi. Jebakan hipokrasi ialah ketika sistem internal ideologi, nilai, norma, dan cara menafsirkan dunia dibuat dan sebisa mungkin dibuat kabur oleh banyak pihak.

Tujuannya agar orang tersebut dapat dianggap sebagai manusia super dengan beragam status dan perannya di masyarakat.

Politik muka tembok atau topeng politik sama dengan politik panggung depan. Sebuah drama aksi pertunjukan, tak pernah menyampaikan yang sebenarnya.

Erving Goffman
Erving Goffman

Dalam praktiknya, jebakan hipokrasi menggunakan bahasa sebagai alat, narasi sebagai kekuatan. Bahasa digunakan untuk kepentingan kekuasaan dibungkus dan dikemas untuk kepentingan tertentu.

Dhakidae (2003) pernah mencontohkan jebakan hipokrasi di masa Orde Baru. Bahasa oleh rezim politik Orde Baru sedemikian rupa dipakai untuk tujuan kekuasaan. Kala itu, ufemisme bahasa sedapat mungkin dipakai untuk membungkus dan memoles setiap praktik politik otoritarianisme Orde Baru. Media menjadi objek pertama yang dipakai Orde Baru dalam struktur mekanisme manipulasi.

Dalam analisisnya disampaikan bahwa bahasa yang benar ialah yang keluar dari pemerintah dan negara. Implikasi praktisnya, apa pun yang dikerjakan pemerintah Orde Baru, sehingga melahirkan persepsi seolah-olah apapun yang dilakukan oleh pemerintah meskipun salah tetap dianggap baik dan benar.

Dalam praktiknya lembaga politik kemudian dijadikan alat produsen wacana untuk disebarluaskan ke masyarakat.

Jebakan hipokrasi menggunakan bahasa sebagai alat, narasi sebagai kekuatan. Bahasa digunakan untuk kepentingan kekuasaan dibungkus dan dikemas untuk kepentingan tertentu

Dhakidae

Hipokrasi Era Reformasi

Berebda dengan Orde baru, praktik hipokrasi juga mudah dijumpai di era pemerintahan Jokowi. Jika Orde Baru menggunakan lembag apolitik sebagai produsen wacana era reformasi menggunakan buzzer dan influencer sebagai senjata praktik politik hipokrasi.

Mislanya saja, Pemerintah sempat menjadi perbincangan publik saat Istana menyampaikan pernyataan yang intinya meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah.

Pemerintah meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah dan mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik.

Bahkan diperkuat dengan pernyataan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengatakan pemerintah membutuhkan kritik yang pedas dan keras dari pers. Pramono mengibaratkan kritik media massa ini sebagai jamu.

Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun sebagaiman dikutip oleh CNNIndonesia.com berpendapat pernyataan Jokowi dan pihak Istana yang minta dikritik menunjukkan praktik politik berwajah ganda dari kekuasaan.

Ubed menilai di satu sisi Jokowi menunjukkan pesan yang positif untuk bersedia mendapat kritik. Di sisi lain, menunjukkan tindakan kontradiktif dengan terus menangkap atau menghantam para aktivis yang lantang mengkritik kekuasaan.

“Ada semacam politik wajah ganda kekuasaan, dia munafik kekuasaan, kekuasaan berwajah munafik. Satu sisi menyatakan sesuatu yang positif. Tapi praktek yang terjadi bertolak belakang. Bisa dikritik, tapi buzzer beroperasi untuk melakukan teror yang melemparkan kritik,” kata Ubed .

Ketika Jokowi minta publik aktif mengkritik, Ubed mengatakan warga terus dibayangi oleh ulah para pendengung (buzzer) yang menjadi pembela pemerintah maupun ancaman Undang-undang Nomor 11 Tahun Nomor 2008 (UU ITE).

Alhasil, sudah banyak orang-orang kritis terhadap pemerintah yang terjerat pada dua instrumen tersebut.

Publik masih teringat kritikan yang dilontarkan jurnalis Dandhy Dwi Laksono. Kritiknya lewat media sosial pribadinya membuat Dandhy ditangkap oleh polisi pada September 2019 lalu.

Kemudian, musisi Ananda Badudu ditangkap dengan tuduhan penggalangan dan penyaluran dana aksi mahasiswa 23-24 September 2019. Saat itu sedang ramai demo penolakan pelbagai RUU kontroversial jadi undang-undang jelang akhir DPR periode 2014-2019, termasuk RKUHP.

“Makanya ini ya sama saja, membuka ruang kritik, ya terlambat. Mestinya dulu waktu baru berkuasa, bilang kritik lah saya sekeras-kerasnya” kata dia.

Praktik yang demikian jelas seperti yang disampaikan oleh Runcimen, politik bermuka dua. Janji-janji politik ditutupi dengan janji lainnya. Ya inilah praktik politik hipokrasi di era post truth.

Kampanye Akbar GBK

Praktik Politik Hipokrasi di Pemilu

Politik Hipokrasi dapat kita temui saat masa-masa menjelang Pemilu. Janji politik, obral janji, tanpa peduli dan tanggungjawab.

Hipokrasi dalam Pemilu dimulai tepat saat ketika calon pemimpin lebih sering menonjolkan diri daripada menunjukkan hal baik yang telah dan akan dilakukan di masyarakat.

Calon lebih peduli pencitraan dirinya dibanding mengurai berbagai permasalahan warganya, lebih memikirkan dirinya ketimbang memikirkan rakyatnya.

Politik artificial dilakukan, mereka nampak baik pada tampilan namun buruk pada kenyataan, atau bagus dalam “pencitraan”.

Politik pencitraan kemudian dibungkus dengan politik tak tahu malu, politik muka tembok. Sebuah kenyataan didepan mata hadir dimana-mana.

Seorang politisi yang sedang berkontestasi akan dengan mudah menyebut kesalahan yang dilakukannya dengan kata Khilaf.

Seorang politisi bisa tanpa malu dan masih tersenyum disaat sudah dinyatakan dan terbukti bersalah atau terbukti korupsi.

Kadang, ada model politisi kutu loncat. Keluar masuk partai politik, tak memiliki visi dan ideologi. Seorang mantan narapidan koruptor bisa masih menjadi penguasa melalui jalur kontestasi politik. Ada pula para selibriti yang nayata-nyata pernah terkena kasus asusila, masih memiliki pengemar dan memenangkan kontestasi. Boleh dibilang hipokrasi masih menjadi politik yang menghiasi negeri.

Dari sisi perilakunya misalnya. Politisi yang sering hanya memberi janji surga masih memnangkan kontestasi. Bahkan politisi yang praktik kampanye hitam, politik identitas, SARA, politik uang bisa memenangkan kekuasaan.

Praktik yang demikian oleh Akbar Tandjung disebut dengan istilah praktik politik tak bermoral tak berperadaban atau uncivilized.

Perilaku politik demikian mengabaikan etika, orientasi kekuasaan tanpa memperhatikan moralitas. Menghalalkan segala cara untuk menuju kekuasaan.

Tak heran apabila di Indonesia ajaran agama, adat, budaya, etika politik tak pernah dianggap adanya. Saat inilah terjadi apa yang disebut dengan hiperrealitas dan hipokrisi politik.

Praktik hipokrasi politik menjalankan bahwa Politisi dan elite kekuasaan bergerak massif untuk mengelabui dan memanipulasi kesadaran masyarakat sebagai objek sasaran. Politik digunakan sebagai seni berbohong dan memanipulasi. Tujuan akhir politik bergeser, kekuasaan bukan lagi soal strategi pengambilan kebijakan penting untuk kemaslahatan ummat melainkan untuk kepentingan individu dan kelompok.

banyak pertanyaan kemudian muncul, dimana letak moral dan akhlak. Apakah sebatas teori belaka, atau hanya jadi tuntunan individu saja tanpa terkonsespsikan dalam aturan sosial yang mengikat, kemana sangsi sosial, dimana moral bangsa dan bagaimana memulihkannya.

Praktik yang demikian adalah praktik politik tak bermoral tak berperadaban atau uncivilized.

Akbar Tandjung

Sikap Kritis

Apa yang harus dilakukan menghadapi semua itu, langkah nyata yang harus diambil adalah rakyat harus segera mengambil sikap cerdas. Masyarakat harus segera sadar dan disadarkan melalui edukasi politik agar mulai tumbuh sikap kritis.

Sikap kritis membaca situasi, kritis membaca janji-janji politik. Politik muka tembok, hipokrasi adalah ancaman nyata terhadap kondisi bangsa, perusak demokrasi, yang saat ini menjadi momok dan terus membayangi ruang politik lokal dan nasional.

Kita merindukan bangsa Indoensia dengan sebuah tatanan politik yang demokratis, dan terbuka memberikan semua pihak lapisan politik mengambil bagian. Cara-cara pengambilan keputusan poitik yang rasional.

Sebagaimana Akbar Tandjung sampaikan dalam bukunya yang berjudul “Membangun Konsesus”. Menurutnya melalui kekuatan etika dan rasionalitas politik maka kompetisi politik berlangsung secara sehat demokratis, fair, dan konstitusional atau berlangsung dengan rule of thr game. Lawannya adalah politik irrasional yang tidak beradab, uncivilized.

Akbar Tandjung

Kilkers Versi PDF

Komentar

About Author /

Start typing and press Enter to search