Tersandera Korona, Pariwisata Indonesia Mati Suri
Jalanan dari pelabuhan ke penginapan terlihat lengang. Hanya ada satu-dua kendaraan yang berpapasan. Mobil pick up yang mengangkut kami pun berjalan lancar.
Menurut Ketut Suri, pemilik penginapan yang menjemput kami, suasana ini tidak pernah terjadi sebelum pandemi Covid-19 mewabah.
Di Pulau Nusa Lembongan, Bali, dampak dari pandemi Covid-19 sangat terasa. Beberapa pantai sepi seperti kuburan. Tidak ada wisatawan, hanya warga lokal yang sedang menjemur rumput laut.
Café-café yang berjajar di pinggir pantai banyak yang tutup. Yang buka pun hanya dikunjungi oleh satu-dua wisatawan.
Di penginapan milik Ketut Suri, hanya ada kami yang menginap. Padahal di sana ada beberapa bungalow.
Untung saja kami datang ketika musim hujan, jadi sepinya penginapan tergantikan dengan hijaunya dedaunan tanaman di sekitar vila.
Terdampak Pandemi Covid-19
Salah satu sektor yang paling terdampak dari pandemi Covid-19 adalah pariwisata. Kebijakan pembatasan oleh pemerintah menjadikan destinasi wisata sepi pengunjung.
Dalam sebuah diskusi virtual pada Sabtu (12/09/2020), Kepala Staf Presiden Moeldoko mengatakan ada 13 juta pekerja langsung yang terancam dari 13 jenis usaha pariwisata
“Potensi kehilangan pekerjaan 6 juta hingga akhir tahun 2020 di mana ada yang di-PHK, dirumahkan, atau usaha mandirinya bangkrut,” kata Moeldoko.
Selain itu, menurut Moeldoko ada 32,5 juta tenaga kerja tidak langsung yang terdampak. Mereka adalah pelaku UMKM Parekraf, money charger, toko souvenir, penari, pemusik, pekerja seni di daerah wisata, pemasok ke hotel/restoran, pekerja mall/retail, dan lainnya.
“Potensi kehilangan mencapai 15 juta pekerjaan sampai akhir tahun ini,” kata dia.
Sementara itu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kepala Barekraf) Sandiaga Salahuddin Uno pandemi Covid-19 berdampak terhadap 30 juta pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif (ekraf).
“Kita mendata ada 30 juta pelaku sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang terpuruk, mulai dari informal, hingga pelaku usaha mikro dan besar sangat terdampak dan harus segera dibantu,” kata Sandi dalam siaran pers pada Sabtu (26/12/2021).
Sementara itu Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat hingga akhir 2020 total kerugian sektor pariwisata akibat pandemi Covid-19 dibarengi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar mencapai lebih dari Rp10 triliun.
Diwartakan oleh tempo.co pada pada Senin (11/01/2021), Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani mengatakan kerugian itu tercermin dari kontraksi yang cukup besar dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada kuartal kedua dan ketiga 2020.
“Yang jelas kerugian pelaku usaha cukup besar dan kontraksinya terlihat jelas dalam PDB dua kuartal sebelumnya dan akan tercermin juga pada PDB di akhir tahun,” kata Shinta.
Cerita dari Bali
Pada pertengahan Desember 2020, tim redaksi Klik Magazine melakukan liputan di Pulau Dewata. Tempat tujuan utama kami adalah Pulau Nusa Lembongan.
Di pulau yang masuk dalam wilayah Kecamatan Kelungkung ini, banyak warga beralih profesi, dari penyedia jasa pariwisata ke petani rumput laut.
Kita mendata ada 30 juta pelaku sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang terpuruk, mulai dari informal, hingga pelaku usaha mikro dan besar sangat terdampak dan harus segera dibantu.
Sandiaga Uno
Menurut keterangan Gede (33 tahun), warga beralih ke rumput laut karena terpaksa oleh keadaan.
“Ya dulu, dulu sekali, sebelum pariwisata ramai, warga sini banyak bertani rumput laut. Sekarang pariwisata sepi, ya kita coba lagi ke rumput laut, meskipun hasilnya kurang memuaskan, apalagi musim hujan sekarang,” terang Gede.
Menurut Gede, sebelum adanya pandemi, mendapatkan uang bukan hal yang sulit. Nominal 500 ribu hingga sejuta bisa didapat dalam hitungan jam.
“Ya dulu bukan sombong ya, kita kerja antar tamu pagi saja bisa dapat 500 (ribu) sampe sejuta. Sekarang dapat sejuta dalam sebulan saja udah untung,” kata Gede.
Selain di Nusa Lembongan, kami juga sempat singgah beberapa hari di Denpasar. Di ibu kota provinsi ini, kehidupan berjalan hampir sama dengan di Nusa Lembongan. Sepi dan banyak café-café tutup.
Menurut cerita Taufik, warga asal Indramayu yang bekerja di Kuta, para pekerja café dan restoran yang berasal dari luar Bali bahkan mayoritas sudah angkat koper balik ke kampung halaman.
Warga yang kehilangan pekerjaan mencoba bertahan hidup dengan berjualan berbagai macam produk di pinggir-pinggir jalan. Menurut Taufik, fenomena itu benar-benar baru di Bali.
Butuh Solusi, Bukan hanya Imbauan
Menurut Taufik, anjloknya industri pariwisata belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal itu menurutnya terlihat dari banyaknya kebijakan yang merugikan pelaku pariwisata.
Ia mencontohkan kebijakan pemberlakuan jam malam misalnya. Di mana ini akan berdampak terhadap pelaku industri pariwisata yang memang buka di malam hari.
Kemudian juga pemberlakuan tes bebas Covid-19 warga yang ingin bepergian.
“Ya kebijakan ini tentu merugikan pelaku industri pariwisata. Makanya kami butuh solusi, tidak hanya sekedar imbauan ini dan itu,” ungkap Taufik.
Sementara itu Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan sebaiknya pemerintah mengupayakan lebih dulu para pelaku industri pariwisata bisa bertahan di tengah pandemi.
Seperti yang diwartakan oleh tirto.id, menurut Maulana hal itu lebih baik daripada membicarakan bagaimana harus membangkitkan pariwisata dalam kondisi yang belum bisa diketahui kapan akan usai.
“Kami sadar kebangkitan sektor pariwisata itu sangat bertentangan dengan penanganan wabah. Sebelum bicara kebangkitan kita bicara recovery dulu, bagaimana 13 sektor bertahan dulu, baru kita bisa bicara pembangunan itu sendiri,” kata Maulana kepada Tirto, Selasa (29/12/2020).
Sementara itu Pengamat Kebijakan Publik dari Univestitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menyarankan agar pemerintah fokus pada mengendalikan kasus penularan di Indonesia.
Hal ini, menurutnya, agar pelaku usaha, termasuk sektor pariwisata memiliki kepastian dan kembali bernapas.
“Coba bisa enggak dalam durasi yang cepat ini angka penularan turun. Karena kalau enggak begitu, enggak akan bisa terkendali,” kata Trubus yang dikutip dari tirto.id, Selasa (29/12/2020)(*). Muhtar Nasir
Klik Magazine Versi PDF
Komentar