Membongkar Praktik Klientelisme di Indonesia

Democracy for sale, dalam istilah jawa biasa disebut demokrasi wani piro.

Klientalisme identik dengan politik transaksional yang tentu tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Klientelisme politik sudah nampak mengakar, praktik pemberian imbalan oleh politisi dalam memperoleh dukungan elektoral ke para pemilih, pegiat kampanye maupun aktor lain adalah bukti praktik politik klientelisme politik.

Seberapa parah klientelisme politik di Indonesia?. Dua Indonesianis dari Belanda Aspinall dan Ward Baranschot berkolaborasi untuk membongkar praktik klientelisme di Indonesia.

Aspinall yang tengah terlibat dalam penelitian politik uang di kawasan Asia Tenggara dan selama dua dekade terakhir aktif melakukan penelitian politik di Indonesia. Kemudian Ward menyelenggarakan survei ahli mengungkap parkatik klientelisme di Indonesia setelah sebelumnya melakukan penelitian politik informal di India dan Ward melihat ada kesamaan antara India dengan Indonesia. Keduanya berkolaborasi untuk menyelesaikan buku ini.

Aspinall dan Ward melakukan analisa dan membongkar jejaring informal politik di Indonesia. Demokrasi di Indonesia diwarnai dengan jejaring informal yang dijalankan oleh koneksi personal maupun kelompok tertentu mampu mengendalikan institusi-institusi formal dan menjalankan praktik pertukaran klientelisme di Indonesia.

Penulis mencontohkan bagaimana praktik transaksional dan deal-deal bagi-bagi projek, pekerjaan, uang, ataupun kemudahan akses perizinan dan kontrak. Politisi tanpa tedeng aling-aling memperjualbelikan perizinan, akses anggaran, dan jabatan demi memuluskan kemenangan dalam Pemilu / Pemilukada.

Hasil peneliatian Ward Barenschot mislanya, diungkapkan dalam buku ini dimana akibat praktik klientelisme di Indonesia, tingkat ketergantungan politisi kepada Parpol sangat rendah. Karena kebutuhan biaya tinggi, politisi bergantung kepada institusi informal atau individu saudagar. Relasi institsui informal dan individu mengalahkan loyalitas politisi kepada partai. Biasnaya didasarai atas hubungan pertemanan, kekerabatan, hubungan bisnis, agama, etnis. Agen-agen politik biasanya melelang jasa kepada mereka yang mampu membayar tertinggi. Individu, birokrat, bahkan bisa menjadi pengendali atas sumberdaya negara atau daerah dan menjadi aktor kunci memuluskan kampanye pemenangan.

Aspinall dan Ward telah membuktikan bahwa Pemilu di Indonesia telah dikendalikan oleh institusi non formal, dan individu tertentu. Peran Parpol dan institusi formal menjadi sangat lemah. Inilah temuan Aspinall dan Ward dalam politik kontemporer di Indonesia.

Para penulis dengan gambalang mencontohkan bagaimana proses transaksional terjadi. Banyak dijumpai para politisi mengeluhkan tingginya biaya dalam proses Pemilu/Pemilukada, Begitu terpilih para pemimpin tersebut fokus bagaimana pengembalian modal. Tak heran jika banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi.

Para elit politik seakan terjebak dalam parktik politik transaksional, politik uang. Politisi mengalami situasi dilematis, disatusisi harus idealis dengan politik bersih namun konstituen menunutut terjadinya praktik politik transaksional.

Situasi ini menggambarkan bahwa Demokratisasi Indonesia sejauh ini tidak berfungsi sebagai penangkal korupsi yang sudah mengakar sejak lama. Padahal idealnya demokrasi dalam rentang waktu tertentu secara bertahap dapat menghapus praktik korupsi, demokrasi yang dapat menghukum politisi korup dan melahiran institusi-institusi negara yang dapat dihandalkan.

Dampak paling nyata dari paraktik politik uang adalah suburnya praktik korupsi, mempersubur ketimpangan sosial, dengan tumbuh subur dan makin kayanya kelompok tertentu karena akses istimewa terhadap kekuasaan dan sumber daya negara. Tak heran jika di Indonesia terjadi GAP sangat besar, ada sedikit orang kaya dan banyak penduduk miskin.

Temuan riset Ward dan Aspinal ini sekaligus menjadi anti tesa teori bahwa demokrasi dan transparansi memudahkan peningkatan kualitas kinerja pemerintah dan mempermudah peran warga untuk menghukum para pejabat elit melalui sisitem demokrasi. Tanpa demokrasi dan transparansi diasumsikan mudah sekali mencengkeram institusi negara untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu.

Menurut penulis, pandangan tersebut terlalu idealis tentang warga negara. Ia berasumsi bahwa pemilih akan mendukung politisi yang programatik, dan seolah praktik klientelisme berasal dari politisi iyu sendiri.

Padahal, temuan Ward justru sebaliknya. Pemilih menuntut adanya praktik tarnsaksional sehingga memaksa demokrasi berbiaya tinggi. Inilah mengapa praktik politik uang sulit sekali diubah sebab politisi dan juga pemilih keduanya menjadi penggerak praktik klientelisme di Idnoensia.

Hal ini menjadi tantangan berat bagi Indonesia menurut penulis dalam membangun kualitas pemerintahan yang bersih dan juga mewujudkan pemerintahan yang baik dan terciptanya pelayanan publik serta pemerataan kesejahteraan melalui demokrasi.

Pemilih menghalalkan politik transaksional karena memang meyakini bahwa para calon pemimpin saat terpilih hanya akan memeprkaya diri dan tidak peduli dengan kualitas kepemimpinanya. Disisi lain, politisi juga takut tidak berhasil dalam Pemilu jika tidak menerapkan cara-cara transaksional. Fakta ini ditemukan dalam hasil riset Ward sebagaimana diuraikan dalam BAB 5.

Disajikan dengan bahasa yang sangat sederhana, banyak contoh-contoh praktik di lapangan. Buku ini sangat menarik bagi para pegiat dmeokrasi dan juga politisi. Meski demikian, uraian-uraian dalam buku ini patut direkonfirmasi atau dilakukan penelitian pembanding. Mengingat penyampainnya cenderung mengerelasir sebuah kasus tertentu hingga seolah terjadi massif di semua sektor dan daerah.

Judul Buku : Democracy For Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara Indonesia
Judul Asli : Democracy For Sale: Election, Clientelism, and The State in Indonesia
Penulis : Edward Aspinal & Ward Berenschot
Penerjemah : Edisius Riyadi
Penerbit : Jakarat, Obor
Cetakan : Pertama, Maret 2019
Halaman : xviii + 418 Halaman

Klik Magazine Versi PDF

Komentar

About Author /

Start typing and press Enter to search