Perspektif “Kegagalan”
Kata “gagal” dan “kegagalan” sungguh menghasilkan respon yang unik. Bahkan ada yang beranggapan gagal = bohong.
Seorang ilmuwan memandang kegagalan sebagai sebuah informasi.
Kegagalan adalah sebuah data yang menunjukkan bahwa kita tidak lagi harus melewati jalan dan cara yang sama.
Sebuah informasi yang berisi sekumpulan data dan hasil yang kita beri nama kegagalan. Sebagai sebuah informasi, maka kegagalan tidak menghambat apapun.
Ada yang memandang kegagalan sebagai pengalaman terbaik. Ada yang melihat kegagalan sebagai kata benda. Status tersebut menghasilkan penghakiman. Jika gagal, maka hancur, bodoh, dan seterusnya.
Psikolog Carol Dweck melihat kegagalan sebagai kata kerja. Karena kata kerja, maka sifatnya terus bergerak dan berubah. Kegagalan tidak diam dan berhenti. Dia menuntut kita bergerak dan mengubahnya menjadi lebih baik.
Fisikawan Richard Feynman memandang kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar dan menemukan proses yang lebih baik.
Ada orang yang berkata, “untung aku pernah tidak naik kelas sehingga menjadikanku bangkit dan sukses seperti sekarang”. Kegagalan bukan lawan dari kesuksesan, melainkan bagian penting dari kesuksesan. Demikian kata sebagian orang.
Kalau anda mencari di Google kalimat penyemangat tentang kegagalan, maka anda akan bisa mendapatkan ribuan jumlahnya. Kabar baiknya, seringkali kalimat tersebut hanya menjadi hiburan dan penenang. Termasuk tulisan ini.
Pilihan lain adalah ini. Saat kegagalan menghentakmu, biarkan dia mengaduk-aduk emosimu. Bagi beberapa orang, ini bisa sangat lama bahkan bisa menyebar hingga mulut untuk mengeluarkan amarah dan sumpah serapah. Usahakan jangan lama. Setelah itu biarkan dirimu mengakui kegagalan tersebut.
Ini bagian pentingnya. Masukkan kegagalan tersebut ke dalam nalar dan otak kita agar segera diproses secara rasional.
Setelah itu berikan feedback yang baik. Mulailah dengan “WHY”, “Mengapa”! Setelah itu terserah anda.
Ketika ada orang sudah berusaha dengan baik, beragam cara dicoba dan dilakukan, kemudian katakanlah “gagal”. Ada orang yang menyebutnya “BERBOHONG” dan melabelinya sebagai “KEBOHONGAN”.
Gagal itu Positif
Kegagalan bukanlah identitas. Ya, identitas bahwa akhirnya “saya menjadi orang gagal”. Kegagalan harus menjadi keyakinan sebagai tindakan. Yang berarti bahwa jika saya gagal maka saya akan mengubah tindakan untuk berusaha lagi.
Pegolf hebat Ernie Els juga pernah khawatrir dengan kondisi semacam itu.
Els akhirnya memenangi turnamen akbar setelah lima tahun dia mengalami musim kering, yakni ketika pertandingan demi pertandingan berlalu begitu saja tanpa dia ikuti.
Ingat juga dengan kegagalan berulang-ulang Ibnu Hajar dalam memahami ilmu dari gurunya sebelum akhirnya berhasil dengan sangat baik.
Ingat kegagalan berulang-ulang Thomas Alva Edison, Albert Einstein saat kesulitan membaca, atau masa puluhan tahun Mozart sebelum menghasilkan karya terbaiknya. Dan masih banyak lagi.
Mereka yang terbiasa dengan kegagalan akan mengambil tanggungjawab atas kegagalannya dengan tidak menyalahkan pihak lain atas kegagalannya.
Pelatih basket legendaris John Wooden mengatakan bahwa anda tidak gagal hingga mulai menyalahkan orang lain. Maksudnya, anda masih dapat terus menjalani proses belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut hingga anda menyangkalnya.
Mari kita melatih anak-anak kita memiliki, dalam istilah Psikolog Carol S. Dweck, mindset yang tumbuh.
Salah satu cirinya ketika menghadapi kegagalan adalah belajar dari kegagalan tersebut dan akan berusaha lebih keras lagi untuk meraih keberhasilan.
Untuk itu, kenali ciri-ciri yang memiliki mindset tetap. Yaitu, tidak merasa melakukan kesalahan. Apabila dirinya gagal, yang salah seolah-olah pasti bukan dirinya.
Ciri lainnya adalah mengelak, menganggap orang lain curang, mencari kambing hitam, selalu mencari kelemahan orang untuk dihujat, mencari orang-orang yang lebih buruk darinya, dan menghadapi kegagalan dengan lebih memilih memperbaiki citra diri ketimbang dengan berkarya yang lebih baik.**
Komentar