Demokrasi Myanmar dalam Cengkeraman Militer
Presiden Myanmar Win Myint beserta sejumlah tokoh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), termasuk Aung San Suu Kyi dilaporkan ditangkap oleh Militer, Senin (01/02/2021).
Penangkapan berlangsung setelah beberapa hari ketegangan antara pemerintahan sipil dan militer berpengaruh meningkat, yang menimbulkan kekhawatiran kudeta pascapemilu.
Militer menyebutkan bahwa pemilu di Myanmar diwarnai kecurangan.
Juru bicara Myo Nyunt kepada dunia mengatakan bahwa Suu Kyi, Presiden Win Myint dan sejumlah pemimpin lainnya “dibawa” pada dini hari.
“Saya ingin memberitahu masyarakat kami untuk tidak langsung menanggapi (kejadian itu) dan saya ingin mereka bertindak sesuai hukum yang ada,” katanya, mengaku bahwa dirinya kemungkinan juga bakal ditahan.
PBB Kecam Kudeta
Merespon kejadian tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam penahanan Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah tokoh politik di Myanmar yang dilakukan oleh militer.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak pihak militer untuk menghormati kehendak rakyat Myanmar
“Perkembangan ini menunjukkan serangan yang serius terhadap reformasi demokratis,” kata Juru Bicara PBB Stephane Dujarric, Minggu (31/01/2021) waktu New York, AS, atau Senin waktu Myanmar.
“Semua pemimpin harus bersikap untuk kepentingan terbesar dalam reformasi demokrasi Myanmar, dengan melakukan dialog yang bermakna, menahan diri dari kekerasan, dan menghormati hak asasi manusia serta kebebasan fundamental.”
Pihak militer Myanmar mengumumkan status kedaruratan pada Senin (01/02/2021) usai mereka melakukan penahanan terhadap para pemimpin senior di pemerintahan.
Rakyat Tolak Kudeta
Merespon situasi kudeta di Myanmar, Rakyat Myanmar melakukan aksi demonstrasi menolak kudeta militer di Myanmar terus terjadi di ibu kota Yangon. Pada hari ketiga, Senin (08/02/2021), puluhan ribu demonstran bentrok dengan aparat kepolisian.
Para demonstran mengibarkan bendera Buddha warna-warni di samping spanduk merah dengan warna Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang merupakan partai Aung San Suu Kyi.
Selain di Yangon, demonstrasi juga terjadi di Dawei dan Kachin, di mana ribuan berbaris melakukan aksi protes kudeta militer.
“Bebaskan Pemimpin Kami, Hormati Suara Kami, Tolak Kudeta Militer,” demikian tulisan pada salah satu spanduk aksi protes itu. Banyak pengunjuk rasa mengenakan pakaian hitam.
Para penentang kudeta Myanmar menyerukan lebih banyak aksi protes dan penghentian pekerjaan pada Senin setelah puluhan ribu orang bergabung dalam demonstrasi pada akhir pekan.
Protes yang melanda Myanmar pada Minggu (07/02/2021) adalah yang terbesar sejak Revolusi Saffron 2007.
Demokrasi dan Militer
Persoalan politik di Myanmar hanya berkisar pada perebutan kekuasaan oleh dua pihak yaitu militer dan masyarakat sipil.
Tentu hal ini tidak bis alepas dari sejarah Myammar. Sejak awal perjuangan dan berdirinya Negara Myanmar, militer memang memiliki peranan yang cukup signifikan di Myanmar. Karena merasa paling berjasa, militer sangat mendominasi kehidupan bernegara.
Karenanya Milter Myamnmar menganggap dirinya sebagai pejuang kemerdekaan, dan merasa paling berhak menentukan nasib Myanmar.
Sejarah mencatat bahwa Pemerintahan Militer Langsung di Myanmar berlangsung dari tahun 1962 sampai tahun 1974. Periode 1962-1974 adalah periode pemerintahan militer langsung di bawah Dewan Revolusi (RC). Sebab, pada tahun 1962 Jenderal Ne Win melancarkan kudeta militer dan menggulingkan pemerintahan sipil.
Setelah terjadi kudeta, militer membentuk Dewan Revolusi (RC) yang seluruhnya terdiri dari pejabat militer yang setia kepada Ne Win. Kudeta pada tahun 1962 menandai berakhirnya demokrasi konstitusional dan dimulainya pemerintahan militer langsung di Myanmar.
Pasca kudeta tahun 1962, Jenderal Ne Win di bawah Dewan Revolusi (RC) memberlakukan perintah, dan universitas adalah salah satu target pertama.
Lembaga demokrasi dihancurkan dan kekuasaan terkonsentrasi di tangan Dewan Revolusi di bawah kepemimpinan Jenderal Ne Win.
Selama periode 1962-1974, Myanmar berubah menjadi negara dengan satu partai sosialis di bawah kepemimpinan Jenderal Ne Win dan militer dinyatakan sebagai otoritas tertinggi.
Fase kedua pemerintahan militer yaitu ‘fase kediktatoran konstitusional’ dimulai pada bulan Maret 1974. Dewan Revolusi yang memerintah Burma secara langsung sejak tahun 1962 dibubarkan pada tahun 1974.
Pada tahun ini, Ne Win memperkenalkan sebuah konstitusi baru yang disebut ‘hukum dasar baru’ dan undang-undang nasional pertama.
Inilah kenapa militer di Myanmar tidak pernah rela kekuasaannya dilepaskan kepada masyarakat sipil.
Sementara kelompok sipil Myanmar pengusung demokrasi adalah Aung San Suu Kyi, tokoh yang paling lantang menyuarakan demokrasi dan mengkampanyekan dikuranginya peranan militer di Myanmar.
Aung San Suu Kyi adalah tokoh yang amat popular di mata masyarakat Myanmar dan masyarakat dunia.
Sayangnya, meskipun Myanmar dipimpin masyarakat sipil dalam beberapa tahun, dominasi militer tetap kuat mencengkeram.
Pada 1 Februari 2021, pemerintah sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dan tokoh lainnya dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dikudeta oleh militer.
Kudeta ini dipicu karena militer dan partai oposisi yang didukungnya kalah telak dalam pemilihan umum.
Selain itu, sejak partai NDP ini memegang kekuasaan pada tahun 2015, ruang gerak militer dalam dunia politik kian dibatasi.
Kudeta ini jelas menunjukkan kegagalan Aung San Suu Kyi dalam kancah politik Myanmar. Andai saja, dengan demokrasi yang diusungnya di Negara tersebut, Aung San Suu Kyi mampu menyatukan minoritas dan mayoritas.
Andai saja ia menyuarakan hak-hak kaum minoritas seperti Rohingnya di negerinya, andai saja ia tidak mementingkan hitung-hitungan keterpilihan untuk partainya, andai saja ia fokus membangun Negara dan tidak mengutamakan kepentingan partai di atas segalanya, Aung San Suu Kyi mungkin tak akan dikudeta.
Sebagai dampak dari kalkulasi yang salah ini, Myanmar masih akan menempuh jalan panjang bagi penegakkan demokrasi.[ABDULAZIZ]
KLIK MAGAZINE VERSI PDF
Komentar