Indonesia dalam Cengkeraman Oligarki
Praktik oligarki di Indonesia semakin menguat. Dikuasainya pemerintahan oleh segelintir elit kombinasi penguasa dan pengusaha menyebabkan demokrasi semakin jauh dari relnya.
Konsep trias politika yang digagas para pemikir terdahulu untuk membatasi kekuasaan tidak berlaku lagi saat ini. Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif tampak seperti satu warna.
Berbagai kebijakan yang diusung oleh pemerintah mulus di tangan legislatif, meskipun kebijakan itu ditentang oleh masyarakat.
Disahkannya revisi Undang-Undang KPK pada 2019 dan UU Cipta Kerja pada 2020 menunjukkan kerja nyata kekuatan oligarki di Indonesia.
Alih-alih mendengarkan aspirasi, pemerintah dan DPR tetap bergeming mengesahkan UU tersebut. Mereka bersepakat melabeli gerakan penolakan dua UU tersebut ditunggangi kelompok tertentu. Masyarakat dianggap telah menjadi penyebar dan korban hoaks.
Tertanam Sejak Kolonial
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison dalam Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, yang dikutip dari historia.id (05/11/2020), menyebut oligarki sebagai sebuah sistem kekuasaan yang terstruktur, di mana di dalamnya bersatu kekuatan politik birokratis dan kekuatan ekonomi.
Konseptualisasinya adalah kekuatan politik birokratis yang memegang kendali sumber daya ekonomi bergandengan tangan dengan kelompok yang punya kepentingan bisnis untuk meraup keuntungan bersama.
Praktik oligarki yang disebut Hadiz tersebut nyata dijumpai dalam catatan sejarah Indonesia, di mana sejak masa penjajahan telah terjadi kongkalikong antara kolonial belanda dengan pejabat pribumi.
Di masa penjajahan, pengisapan oleh penjajah bisa langgeng karena peran pejabat pribumi. Pejabat pribumi menjadi ujung tombak pemerintah kolonial untuk memperoleh hasil pertanian.
Mereka diserahi tanggung jawab untuk menggenjot hasil agraria ekspor dan mengoordinasikan para petani pemilik tanah. Para pejabat pribumi ini meraup uang sebanyak-banyaknya dari hasil tanaman rakyat melalui sistem cultuut procenten.
Cultuur procenten adalah insentif dari pemerintah bagi pejabat yang daerahnya mampu menghasilkan panen melebihi ketentuan.
Pejabat pribumi akan mendapatkan lebih apabilan daerahnya mampu menghasilkan tanaman ekspor melebihi target. Maka dia bisa sangat kaya, sementara rakyatnya tak punya apa-apa.
Dipupuk Soeharto, Tumbuh Subur di Era Jokowi
Praktik oligarki di Indonesia menguat pada masa Orde Baru. Seorang Indonesianis dan pakar politik Jeffrey A Winters bahkan menyebut Soeharto sebagai Bapak Oligarki di Indonesia.
Dalam sebuah kesempatan, yang dikutip dari detik.com (18/04/2011), Winters menyebut Soeharto berlagak seperti The Godfather yang membagi-bagikan kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu.
Winters menyebut kelompok itu adalah para jenderal, penguasa etnis Tionghoa dan kelompok pribumi. Hal itu dilakukan agar Soeharto bisa nyaman berkuasa.
“Setelah berkuasa, ancaman nyata Soeharto itu ada pada para Jenderal TNI, jadinya dia membagi-bagikan kekayaan misalnya dengan pengelolaan hutan di Kalimantan dan menyebut para Jenderal itu kaya karena dia. Soeharto itu seorang Godfather yang ekonomis dan politis,” kata Winters kala itu.
Prof Salim, guru besar ilmu politik, mengatakan orang-orang kaya yang lahir di masa orde baru itu kemudian mengkhianati Soeharto saat reformasi 1998.
“Mereka bawa lari duitnya ke luar negeri, ke Singapura, Hongkong, ke manapun. Dan ketika reformasi, mereka balik lagi ke Indonesia, “ kata Prof Salim yang dikutip dari rmol.id (23/09/2020).
Prof Salim melanjutkan orang-orang kaya hasil kebijakan Orde Baru ini kemudian menjadi pemain oligarki atau cukong daripada oligarki.
Tumbangnya Orde Baru tidak lantas menghilangkan oligarki dari sistem pemerintahan Indonesia. Orligarki malah semakin berkembang biak, beranak-pinak.
Euforia reformasi dengan munculnya banyak partai politik turut menumbuhkan oligarki. Para oligark menyusup ke partai-partai agar kepentingan bisnisnya terjaga.
Hal itu berlanjut hingga Jokowi menjadi presiden untuk kedua kalinya. Bisa dibilang, di era Jokowi ini oligarki tumbuh subur.
Aroma oligarki ini menguat setelah Jokowi mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Jilid II, di mana pos menteri dan wakil menteri diberikan kepada orang-orang terdekat dan konglomerat.
Selain itu, Jokowi juga memperkuat konsolidasi dengan milier. Beberapa pos penting di kementerian diserahkan kepada orang-orang dengan latar belakang milier.
Leonard C. Sebastian dalam Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period, yang dikutip dari tirto.id (11/12/2020), mengatakan bahwa konsolidasi dengan militer akan memudahkan Jokowi dalam mencapai ambisinya.
“Jokowi memastikan mendapat dukungan nasional dari seluruh daerah militer Indonesia yang bisa dijadikan perpanjangan tangan pemerintah memastikan jalannya kebijakan pusat di daerah-daerah terpencil,” kata Leonard.
Dengan bersatunya kekuatan-kekuatan dari partai politik, pengusaha, dan militer, maka kebijakan yang diinginkan oleh pemerintah Jokowi pun menjadi semakin mudah terwujud.
Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi salah satu contoh. Meskipun RUU ini ditolak masyarakat, pemerintah dan DPR tetap bergeming melanjutkan pembahasan hingga akhirnya disahkan.
Aksi demonstrasi di banyak daerah direspon dengan sangat represif oleh aparat kepolisian. Pemerintah dan DPR tidak segan melabeli para penolak RUU tersebut dengan penyebar dan korban hoaks, meskipun draft RUU itu sendiri berkali-kali berubah, bahkan ketika dikatakan sudah final.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan kehadiran UU Cipta Kerja akan semakin menguatkan cengkeraman oligarki.
Dikutip dari kompas.com (23/10/2020), Faisal Basri menyebut UU Cipta Kerja membuat batas-batas penguasa dan pengusaha semakin tipis.
“Agenda ini bukan buat keseluruhan, tapi omnibus law ini membuat oligarki makin mencengkeram,” kata Faisal Basri saat itu.
Kegagalan Reformasi
Momentum penting untuk memutus oligarki di Indonesia sebenarnya terjadi saat reformasi 1998. Saat itu diwacanakan pemutusan satu generasi, di mana orang-orang yang terlibat dalam pemerintahan Orde Baru yang cenderung koruptif tidak diperbolehkan lagi menjabat.
Namun, wacana itu gagal terealisasi. Akibatnya, generasi lama produk Orde baru itu tetap eksis mengisi pos-pos penting dalam pemerintahan.
Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Najib Azca, yang dikutip dari kompas.com (27/10/2020) menyebut orang-orang produk Orde Baru itu melakukan reorganisasi. Sehingga kekuatan oligarki masuk menjadi bagian yang inhern dari struktur baru yang bercorak demokrasi prosedural.
Vedi Hadiz mengungkapkan para oligark menyelamatkan oligarki yang sempat mati suri pasca reformasi 1998 dengan menguasai partai-partai besar.
Kalau di masa Orde baru kekuatan oligarki berujung pada Cendana, pada masa pasca reformasi 1998 para orligark sudah bisa bermanuver sendiri dengan lebih cair dan dinamis.
“Mereka saling bersaing menguasai instrumen-instrumen yang mengatur alokasi sumber daya politik dan ekonomi dan itu terjadi terutama di masa Pemilu dan Pilkada. Kalau kita lihat, partai ini kan yang ideologis sekali hampir enggak ada. Praktis semua, walau pakai retorika berbeda, pada dasarnya mereka himpunan dari aliansi-aliansi ekonomi politik dan mengorganisirnya untuk berkompetisi di arena politik formal,” ungkap Vedi yang dikutip dari historia.id (05/11/2020).
Melawan Oligarki
Prof Jeffrey Winters di lain kesempatan mengajak masyarakat Indonesia untuk tidak pesimis dalam melawan oligarki. Ia mengatakan kekuatan oligarki bisa dikalahkan dengan kekuatan rakyat.
Ia mengambil contoh kasus Pemilihan Presiden di Amerika Serikat, di mana ada calon Presiden, yaitu Bernie Sanders yang mengumpulkan dana kampanye langsung dari masyarakat.
Hal itu berbeda dengan di Indonesia, di mana hampir 100 persen dana kampanye Partai Politik berasal dari oligark yang memiliki kekuasaan untuk mengamankan kepentingannya.
“Jadi kita bisa bukan oligark lawan oligark, tetapi masyarakat yang punya uang kecil tapi jumlah besar bisa melawan the power of oligarch money, jadi jangan terlalu pesimis,” kata Winters dalam diskusi yang diselenggakaran oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (09/06/2020).
Sementara itu Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Firman Noor dalam sebuah artikel yang tayang di sindonews.com (18/11/2019) mengatakan untuk keluar dari cengkeraman oligarki, setidaknya tiga langkah.
Yang pertama adalah perbaikan kehidupan ekonomi bangsa. Diketahui saat ini kondisi perekonomian di Indonesia belum begitu menggembirakan. Hal ini menyebabkan segelintir kalangan akhirnya dapat membeli, memengaruhi dan bahkan memanipulasi pilihan politik orang banyak, termasuk partai.
Yang kedua adalah pembenahan institusi-institusi politik dan sistem pemilu. Saat ini sudah diakui banyak kalangan terjadi politik biaya tinggi (high cost) yang disebabkan pelaksanaan pemilu yang mahal. Kemahalan itu menyebabkan eksistensi oligarki menjadi selalu relevan.
Yang ketiga adalah penguatan budaya berdemokrasi dan masyarakat sipil. Meski dalam berbagai survei terlihat mayoritas masyarakat mengakui demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik, budaya berdemokrasi belum kuat.
Hal ini terlihat dengan masih maraknya politik uang, belum berkembangnya kesadaran menjadi oposisi-kritis-objektif, hingga mental “konservatif”, feodal, dan kelanjutan spirit illiberal democracy yang memberikan jalan bagi pembenaran atas penguasaan oleh segelintir orang/oligarki.[MN]
Klik Magazine Versi PDF
Komentar