Cukong

Cukong, istilah yang sangat familiar bagi kita. Pemilik modal, penyedia dana. Erat kaitannya dengan pengendali bisnis dan kekuasaan di sebuah negara.

Kekuatan cukong tidak hanya di bisnis, dengan modalnya ia dapat mengendalikan kekuasaan bahkan negara. Termasuk sumber daya negara dan pemimpinnya.

Cukong tak tanggung-tanggung, mainannya tidak sekedar lokal atau nasional, tapi internasional. Ya, mereka sering disapa cukong.

Di Indonesia, nama-nama beken seperti Anthony Salim, Sri Tahir, James Riady, Peter Sondakh, Tomy Winata, Chairul Tanjung, dan Teddy Rachman adalah sosok figur yang sering disematkan namanya sebagai cukongs.

Kita tentu penasaran hal-hal dibalik layar tentang cukongs.

Bagaimana mereka berperan di politik, bagaimana koneksi mereka dengan jejaring bisnis asing dan kepentingan politik asing? Apa yang mereka bawa, tawarkan, dan sepakati dalam politik dan bisnis? bagaimana kehidupan mereka?.

Pertanyaan-pertanyaan yang butuh bertahun-tahun menemukan jawabannya.

Pilpres AS

Gambar: Riady Connection The Globalreview.com

Bagaimana peran penting mereka? Kisah peran Riady di Pilpres AS menjadi bukti nyata. Kemenangan Bill Clinton Tanggal 3 November 1992 mengalahkan petahan G.W. Bush tidak luput dari sumbangan kampanye para pendukungnya, termasuk Lippo Group yang dimiliki taipan Mochtar Riady.

Bahkan, Washington Post memberitakan dengan detail bagaimana peran Riady di Pilpres AS. Washington Post memberitakan dengan judul Lippo’s Ties to Power Customary Business in Asia.

Inti dari pemberitaan tersebut adalah donasi kampanye yang digelontorkan oleh keluarga Riady dan eksekutif Lippo lebih dari $270 ribu kepada komite Partai Demokrat sejak Clinton lolos bursa nominasi Presiden AS. Meskipun dukungan tersebut akhirnya bermasalah karena menurut hukum federal AS, dana asing dinyatakan illegal untuk membiayai kampanye politik di AS.

Dukungan pengusaha kepada penguasa maupun calon penguasa, seperti yang dilakukan keluarga Riady kepada Bill Clinton adalah nyata. Meski sulit pembuktiannya

Pilpres 2019 di Indonesia nuansa tersebut juga sangat terasa, termasuk dalam hajatan Pilkada di berbagai daerah. Setiap Pemilu boleh dipastikan akan ada dukungan pengusaha kelas kakap kepada para kandidatnya.

Dukungan pengusaha kepada penguasa maupun calon penguasa, seperti yang dilakukan keluarga Riady kepada Bill Clinton adalah nyata. Namun, sulit pembuktiannya.

Cukong berperan tak sekedar pengusaha tapi juga berperan sebagai polecy maker atau pembuat kebijakan.

Deklarasi pengusaha mendukung calon penguasa tertentu di level Pilkada maupun Pilpres secara terbuka mulai nampak nyata.

Pilpres 2019 menjadi contohnya bagaimana para pengusaha menjadi Timses atau Tim Pemenangan Pilpres, Erick Tohir, Surya Paloh, Erwin Aksa, Hasyim, adalah contoh deretan pengusaha yang ambil peran penting dalam Pilpres.

Gambar : Deretan pengusaha merangkap timses Pilpres 2019 I suara.com

Cukongs tak lagi berperan secara samar-samar hanya memberikan dana bantuan kampanye. Sejak hajatan demokrasi mengarah ke liberal, melalui berbagai pemilihan secara langsung, membuat peran pebisnis (cukongs) berani tampil di arena politik secara terang-terangan, lebih terbuka dan ekspresif.

Inilah babak baru demokrasi di Indonesia, kita tidak lagi berada pada politik pragmatis, politik transaksional, tapi mengarah kepada politik industrial.

Jika politik sudah menjadi industrial maka modal finansial sering menjadi faktor penentu utama dalam kontestasi Pemilu.

Seperti yang diungkapan Barry Clark dalam bukunya Political Economy A Comparative Approache, bahwa ada korelasi yang sangat dekat antara ekonomi dengan politik, pergerakan ekonomi adalah produk politik, begitu pula sebaliknya.

Cukongs menjadi variabel penting dalam politik. Tengok saja, pasca Pemilu Pemilukada tidak sedikit para pengusaha mengambil peran dengan menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Cukongs berperan tak sekedar pengusaha tapi juga berperan sebagai polecy maker atau pembuat kebijakan.

Lantas, apakah seorang pemimpin harus selalu mengakomodir kepentingan cukongs?

Ini yang selalu menjadi persoalan, banyak kepala daerah harus terpaksa korupsi karena mahalnya demokrasi.

Dalam situasi yang demikian dibutuhkan pemimpin yang bijak, yang berorientasi kepada kepentingan nasional dan orang banyak, tak sekedar kepentingan cukongs. Kalo tidak, dipastikan pemimpin hanya kan menjadi penyubur praktik oligarki politik di Indonesia. [YM]

Klik Magazie Versi PDF

Komentar

About Author /

Start typing and press Enter to search