Politik ‘Power’ Indonesia: Lunak ke Luar, Keras di Dalam
Politik Indonesia masih dalam bayang-bayang hard power, sikap represif di dalam negeri, pembungkaman terhadap lawan politik kritis, rayuan jabatan penting, dan terbaru mengedepankan pendekatan militeristik ketimbang dialog dan demokrasi seakan mempertegas posisi pemerintah Indonesia dalam bayang-bayang hard power.
Dengan dalih stabilitas politik nasional dan kepentingan ekonomi, kebijakan pemerintah Indonesia di dalam negeri kerap menggunakan pendekatan hard power.
Prioritas utama pemerintahan Indonesia ialah kemajuan ekonomi. Bagi elit pemerintahan, kemajuan ini tidak akan mungkin berhasil jika tanpa melibatkan aparat dan aliansi dengan militer untuk tetap mempertahankan kekuasaannya.
Pendekatan politik yang demikian erat sekali dengan istilah hard power, merujuk pada teori power yang dicetuskan oleh Joseph Nye.
Nye, yang merupakan Asisten Menteri Pertahanan dan Ketua Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat, membagi konsep power menjadi tiga macam, yaitu hard power, soft power, dan smart power.
Mohammad Rosyid dalam “Soft Diplomacy SBY dalam Konflik Indonesia-Malaysia: Studi Kebijakan SBY terhadap Pelanggaran Kedaulatan oleh Malaysia di Perairan Bintan Tahun 2010”, menyebut hard power identik dengan penggunaan sarana-sarana koersi untuk mencapai tujuan.
Contoh dari praktik hard power adalah adanya imbalan dan hukuman dalam sebuah perintah. Seseorang akan diberikan imbalan apabila menuruti perintah, tetapi orang itu akan mendapat hukuman apabila menolak perintah.
Dalam konsep hard power, seseorang menyadari bahwa ia sedang diperintah (di bawah tekanan). Sehingga dalam situasi ini, relasi antara pihak satu dan pihak lain bersifat hirarkis atau patron-klien. Dalam hubungan internasional, sumber hard power adalah kekuatan militer dan ekonomi.
Sementara itu pendekatan soft power lebih menekankan pada pendekatan co-optive atau persetujuan. Dalam pendekatan ini tidak ada istilah imbalan dan hukuman, yang ada adalah menciptakan situasi atau agenda setting.
“Ketika pihak lain tertarik atau terkesan dengan gagasan atau perilaku kita, maka hal itu dapat mempengaruhi cara berpikir dan merumuskan tujuan yang pada gilirannya mempengaruhi tindakannya,” kata Rosyid.
Soft power adalah kemampuan membuat pihak lain tertarik sehingga ia akan memberikan persetujuannya. Persetujuan berarti kerelaan untuk menerima. Secara psikologis pihak yang dikenai soft power tidak menyadari kalau ia sedang dikuasai.
Penggabungan pendekatan hard power dan soft power adalah smart power. Menurut Rosyid mengedepankan hard power saja, yang tumbuh adalah kebencian dan permusuhan, sementara mengedepankan soft power saja berpotensi melemahkan posisi tawar.
Penggabungan pendekatan hard power dan soft power adalah smart power. Mengedepankan hard power saja, yang tumbuh adalah kebencian dan permusuhan. Soft power saja berpotensi melemahkan posisi tawar.
Mohammad Rosyid
Kasus Papua
Pelabelan teroris kepada KKB semakin menguatkan pendekatan militeristik pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik di Papua. Minimnya dialog dan meningkatnya baku tembak menunjukkan pemerintah lebih memilih pendekatan hard power,
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyebut Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) atau kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai teroris.
Pernyataan Mahfud tersebut didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam UU itu disebutkan, teroris adalah orang yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme.
Sedangkan, terorisme adalah setiap perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas yang dapat menimbulkan korban secara massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, terhadap lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, dan keamanan.
“Nah berdasarkan definisi yang dicantumkan di dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tersebut, maka apa yang dilakukan oleh KKB dan segala nama organisasinya dan orang-orang yang berafiliasi dengannya adalah tindakan teroris,” ujar Mahfud seperti yang dikutip dari kliksaja.co (30/04/2021).
Sikap pemerintah yang melabeli KKB dengan teroris itu dikritik banyak pihak. Pelabelan itu berpotensi semakin menguatkan konflik antara aparat dengan KKB. Dampaknya adalah akan semakin banyak warga sipil yang menjadi korban.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kepada tempo.co menyampaikan pendekatan militeristik yang digunakan pemerintah dalam kasus ini hanya akan mengafirmasi konflik dan potensi munculnya korban dari kalangan sipil.
Dalam hal ini, menurut Asfinawati, pemerintah harusnya memikirkan potensi jatuhnya korban. “Di mana hati nurani kita pada warga sipil di sana?,” kata Asfinawati kepada tempo.co (03/05/2021).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan pelabelan teroris kepada KKB justru akan meningkatkan kekerasan di Papua.
“Langkah ini tidak tepat dan semoga tidak akan menimbulkan eskalasi kekerasan yang semakin tinggi, dan semakin menjauhkan agenda jalan damai,” katanya kepada katadata.co.id (30/04/2021).
Tidak hanya Kasus Papua
Pendekatan hard power tidak hanya digunakan pemerintah Indonesia dalam kasus konflik di Papua saja, tetapi juga pada kasus yang lain. Misalnya pada kasus konflik agraria, entah itu yang melibatkan pemerintah dengan warga atau perusahaan dengan warga.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan sepanjang tahun 2020, terjadi 134 kasus kriminalisasi (132 korban laki-laki dan 2 perempuan), 19 kasus penganiayaan (15 laki-laki dan 4 perempuan), dan 11 orang tewas dalam konflik agraria.
Menurut KPA, para pelaku kekerasan ini sebagian besar adalah aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP. Situasi ini telah melahirkan krisis yang berlipat yang dirasakan oleh petani, masyarakat adat, nelayan dan masyarakat kecil lainnya di wilayah konflik.
Kasus kekerasan terhadap warga dalam kasus konflik agraria ini terjadi di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Pada Jumat (23/04/2021), warga yang enggan melepas lahannya untuk pembangunan bendungan harus bentrok dengan aparat kepolisian. Akibatnya puluhan warga diamankan oleh polisi.
Menurut keterangan tokoh masyarakat setempat, Insin Sutrisno, sebagaimana yang diwartakan oleh voaindonesia.com pada Sabtu (24/04/2021), warga sudah menolak pembangunan sejak tahun 2018, di mana sosialisasi pertama kali dilakukan oleh pemerintah. Penolakan tidak hanya secara verbal, tetapi juga dilakukan secara tertulis.
Menurut Insin, pemerintah tidak pernah memperhatikan aspirasi warga. “Itu lahan dari nenek moyang dan akan kita turunkan ke anak cucuk kita, kalau ditambang, anak cucu mau makan apa, karena 99 persen dari kami petani semua,” kata Insin yang dikutip dari voaindonesia.com.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berencana menambang batu andesit untuk kebutuhan tanggul bendungan. Rencana itu terancam gagal karena warga terus menyatakan penolakan.
Bungkam Suara Kritis
Pendekatan hard power, dalam kondisi tertentu juga dipakai pemerintah untuk membungkam pihak-pihak yang tidak sependapat, misalnya dengan menangkap para aktivis. Penangkapan itu di antaranya dialami oleh Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu. Mereka ditangkap di tengah maraknya penolakan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada September 2019.
Selain terhadap para aktivis, pendekatan hard power juga dilakukan pemerintah terhadap kelompok atau organisasi. Hal itu dialami oleh Front Pembela Islam (FPI). Pada 30 Desember 2020, organisasi pimpinan Habib Rizieq Shihab ini dibubarkan pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala BNPT.
Terhadap kelompok Islamis, semacam FPI ini, Guru Besar Universitas Nasional Australia (ANU) Prof. Greg Fealy menyebut pemerintah Indonesia di masa Presiden Jokowi telah bertindak represif. Hal itu ia tuliskan dalam artikel berjudul “Jokowi’s Repressive Pluralisme” yang diterbitkan easasiaforum.org pada 27 September 2020.
Greg melihat pemerintah Indonesia menggunakan pluralisme untuk menghantam pluralisme. Pemerintah Indonesia, menurut Greg, menganggap kelompok Islamis ini sebagai ekstremis. Dalam hal ini tidak hanya teroris dan pendukung ISIS, tetapi juga anggota atau simpatisan partai-partai Islam. Mereka yang dianggap mencurigakan ini dimasukkan ke dalam daftar pantauan oleh badan keamanan negara.
“Beberapa Islamis telah disingkirkan dari posisi strategis atau ditolak promosi,” ungkap Greg.
Menurut Greg, menekan kelompok Islamis ini justru menekan ruang sipil dan membuat Indonesia kurang demokratis.
Pendekatan hard power, dalam kondisi tertentu juga dipakai pemerintah untuk membungkam pihak-pihak yang tidak sependapat
Sebuah Anomali
Kebijakan pemerintah Indonesia yang menggunakan pendekatan hard power untuk kelompok atau individu yang berseberangan tampak bertolak belakang dengan kebijakan luar negeri.
Indonesia kerap menyarankan penggunaan dialog dalam konflik yang terjadi di sebuah negara atau dalam teori Nye disebut dengan soft power.
Tahun 2017 silam, pada saat KTT G-20 di Humberg Jerman Presiden Jokowi mengajak negara anggota G20 untuk menjadi motor penggerak penyelesaian berbagai akar masalah. Langkah yang bisa ditempuh adalah mengembangkan pendekatan soft power dengan cara mengakhiri ketimpangan dan ketidakadilan. Sebagaimana disampaikan oleh Menlu Retno Mashudi.
Menlu Retno mengatakan pidato Presiden Jokowi mendapatkan respons yang sangat positif dari peserta forum. Salah satunya dari Perdana Menteri Spanyol, Mariano Rajoy Brey, yang setuju dengan ide Jokowi mengenai perlunya menyeimbangkan hard dan soft power.
Pendekatan soft power lainnya terbaru adalah terlihat misalnya dalam menyikapi kasus kudeta yang dilakukan oleh junta militer di Myanmar. Dalam banyak kesempatan, pemerintah Indonesia menekankan perluanya dialog antara kubu militer dengan penentang kudeta.
“Indonesia mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan pendekatan dialog dalam mencari jalan keluar dari berbagao tantangan dan permasalahan yang ada sehingga situasi tidak memburuk,” kata Kementerian Luar Negeri RI dalam pernyataan resmi, Senin (01/02/2021).
Dorongan untuk melakukan dialog itu disuarakan meskipun di Myanmar sendiri telah jatuh korban hingga ratusan jumlahnya. Sikap pemerintah Indonesia yang cenderung lunak mendapat protes dari warga Myanmar.
Pada 23 Februari, sekelompok warga Myamnar melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Besar Indonesia di Myanmar. Mereka menduga Indonesia mendukung langkah junta militer untuk melakukan pemilihan ulang. Namun, hal itu dibantah oleh pemerintah Indonesia.
Langkah Indonesia dalam konflik di Myanmar pasca kudeta berlanjut pada forum ASEAN Leader’s Meeting (ALM) di Jakarta pada 24 April 2021. Forum ini merupakan inisiatif dari pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik di Myanmar pasca kudeta.
ALM yang dihadiri oleh petinggi negara-negara ASEAN menghasilkan lima poin kesepakatan terkait kekerasan di Myanmar pasca kudetan, diantaranya adalah penghentian kekerasan di Myanmar dan dilaksanakannya dialog yang difasilitasi oleh utusan khusus Ketua ASEAN.
Pendekatan soft power juga dilakukan pemerintah Indonesia dalam konflik di Timur Tengah. Hal itu misalnya dalam konflik antara Palestina dengan Israel. Meskipun mendukung kemerdekaan Palestina, Indonesia tetap mendorong penyelesaian konflik antara Palestina dengan Israel diselesaikan dengan jalan damai. [Muhtar Nasir]
Klik Magazine Versi PDF
Komentar