Gus Khoiri (Wong Bodho): Belajar Ikhlas

Tiga kali terpilih dalam kontestasi pemilihan kepala desa. Modal kampanye berasal dari patungan para sopir angkot, sopir truk, komunitas pengajian hingga komunitas rider. Keberanian mengambil risiko demi warganya, menjadi modal penting dalam tugas penyelenggaraan pemerintahan desa.

Gus Khoiri (Wong Bodo)

Lurah Mboro, cukup populer di beberapa komunitas pengajian yang ada di Gresik, Nganjuk, Surabaya, hingga Kediri. Juga, komunitas-komunitas lain. Dalam pengajian,

kajian-kajian Lurah Mboro tergolong sederhana dan mengena.

Tidak berusaha menyalahkan orang lain. Apalagi menyerang kehormatan pribadi maupun kelompok.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Sukoiri, SH. Sering dipanggil juga Gus Koiri. Tapi, lebih populer dengan panggilan Lurah Mboro.

Jabatan resminya Kepala Desa. Tapi, bukan Kepala Desa di Desa Mboro atau Lurah di Mboro. Karena, secara administratif memang tidak ada nama Kelurahan atau Desa Mboro di Kabupaten Gresik.

Mboro, memang hanya sebuah nama. Sebutan oleh warga yang sudah dikenal turun-temurun, untuk menyebut tempat di seberang barat sungai yang ada di Desa Sidowungu. Tidak jelas batasan dan statusnya. Bukan pedukuhan, bukan pula wilayah. Hanya sebutan untuk wilayah di seberang sungai, tanpa kejelasan batasan.

Jadi, secara resmi jabatan Lurah Mboro adalah Kepala Desa di Desa Sidowungu, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. Untuk Gus Koiri, jabatan itu telah tiga kali diamanatkan oleh masyarakat Desa Sidowungu kepada dirinya.

Gus Koiri, memang asli Sidowungu. Lahir dan melalui masa kecil di tempat itu. Memasuki masa remaja hingga menjelang dewasa, juga masih tinggal di tempat itu.

Gus Koiri, juga dikenal sebagai pendiri komunitas Wong Bodo Pondok Mburi, yang ada di Desa Sidowungu. Salah satu tempat berkumpulnya, ada di belakang rumahnya. Sebuah bangunan yang cukup luas untuk berkumpul. Ini, mungkin yang disebut sebagai Pondok Mburi.

Wong Bodo mirip seperti sebuah komunitas pengajian. Hanya metode dakwahnya yang berbeda. Komunitas ini lebih memprioritaskan kegiatan dengan melakukan kegiatan sosial langsung ke masyarakat.

Untuk kegiatan ngaji atau pengajian, tidak ada yang khusus. Hanya Gus Koiri sendiri yang sering diundang ke banyak tempat pengajian, sebagai penceramah.

Selintas jika diperhatikan, pola pengajaran di Padepokan Wong Bodo Pondok Mburi memang berbeda dengan pondok pada umumnya. Metode pengajaran lebih banyak dilakukan dengan melakukan tindakan langsung, yaitu membantu orang lain. Apa saja yang bisa dilakukan untuk membantu orang, menjadi mata pelajaran yang harus dilalui oleh mereka yang belajar di tempat itu.

Begitu pula dalam hal melakukan kajian atau pengajian. Ciri utama yang menonjol adalah tidak menghakimi orang. Tidak menghina. Tidak menjustifikasi. Yang diutamakan adalah berdiskusi, saling menghargai, saling menghormati. Soal keputusan, dicari yang terbaik. Perbedaan, jika memang harus diselesaikan dengan jalan sendiri-sendiri, ya dilakukan saja!

Rata-rata mereka yang datang ke komunitas ini berasal dari berbagai kalangan. Tapi yang terlihat menonjol dalam keseharian, adalah mereka yang berasal dari kalangan marjinal, atau mereka yang rentan pada garis kemiskinan.

Tidak ada ketentuan formal. Lurah Mboro hanya menyediakan tempat yang cukup representatif untuk berkumpul. Juga, untuk tempat tinggal bagi yang tidak memiliki tempat tinggal.

Ada juga lahan luas milik pribadinya yang digunakan sebagai tanah lapang. Jaraknya sekitar seratus meter dari rumah pribadinya, dan digunakan untuk kegiatan umum. Tempat itu disebut sebagai alun-alun.

Tempat yang cukup menonjol di sekitar tanah lapang itu adalah bangunan saung. Tempat itu digunakan sebagai dapur umum. Di situ, hampir setiap hari mereka yang aktif dalam komunitas itu melakukan kegiatan memasak. Jumlahnya kadang bisa mencapai ribuan paket atau piring. Tujuannya: untuk dibagi-bagi!

Biasanya, memasak dalam jumlah ribuan piring atau paket itu, dilakukan untuk acara khusus. Misalnya, untuk acara haul di pemakaman Kembang Kuning. Atau, haul Sunan Giri. Atau, acara-acara keagamaan lain.

Seluruh bahan, mulai beras sampai bumbu, lauk-pauk, peralatan masak hingga tenaga yang terlibat, dikumpulkan dan berkumpul secara sukarela. Tidak ada paksaan. Semua bisa menyumbang, semua bisa terlibat. Semua dilakukan dengan satu ketentuan: belajar ikhlas!

Selain itu, ada lagi kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Wong Bodo. Yaitu, mengoperasikan ambulan gratis. Ya, gratis.

Saat ini, ada enam unit kendaraan ambulan yang dioperasikan oleh komunitas ini. Hampir setiap hari, keenam unit kendaraan ambulan ini beroperasi. Dulu, masih ada di sekitaran wilayah Kecamatan Menganti, Gresik. Kini, sudah beroperasi bahkan di luar kecamatan.

Tidak ada ketentuan bagi penggunanya. Asal punya nomor telepon sopir atau operator ambulan, maka mereka yang membutuhkan ambulan dan tidak mampu membayar biaya ambulan, bisa meminta bantuan ambulan ini. Tidak bayar. Gratis.

Bagaimana dengan dana operasional ambulan? Sama seperti dengan berbagi makanan. Semua terkumpul secara sukarela. Kadang dari anggota, kadang dari para dermawan. Tidak ada paksaan. Mereka sama-sama belajar: belajar ikhlas!.

Cerita Pagebluk dan Ayam Jago

Desa Sidowungu berada di posisi 7,1 Lintang Selatan dan 12,1 Bujur Timur. Topografi ketinggian desa berupa daratan sedang, yaitu sekitar 3 meter di atas permukaan air laut. Jarak dari ibukota kecamatan sekitar 2 kilometer. Sementara dari ibukota kabupaten adalah 30 kilometer.

Termasuk kawasan padat penduduk. Memiliki populasi sekitar 7.680 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2.107 KK, dengan luas wilayah desa seluas 316,272 hektare.

Ada yang menarik perhatian bagi mereka yang pertama kali memasuki desa ini. Yaitu, banyak ditemui tempat penampungan ayam potong, tempat pemotongan ayam, pengolahan ayam mulai dari mentah hingga menjadi makanan jadi. Utamanya, usus ayam goreng.

Mayoritas penduduk di desa ini, memang bergantung pada mata pencaharian sebagai pedagang ayam. Juga, sebagai tukang potong ayam hingga mengolah makanan jadi dari ayam potong. Konon, daging ayam yang diolah di desa itu, rata-rata perbulannya bisa mencapai 120 ton.

Ayam mentah maupun yang sudah jadi olah, disebar ke berbagai wilayah. Terutama, untuk suply kebutuhan daging ayam di Gresik, Surabaya dan sekitarnya. Sebagian juga ke kabupaten terdekat.

Ada cerita yang masih diingat secara turun-temurun, yang beredar terkait dengan sejarah desa itu. Konon, ada cerita bahwa di daerah pinggiran Surabaya itu, ada empat pasukan Majapahit yang melakukan pengembaraan.

Dalam pengembaraan itu, mereka tiba di sebuah Tlogo atau telaga. Dua orang prajurit itu akhirnya memilih menetap di telaga tersebut. Tak berapa lama, daerah itu diberi nama Tlogo Karang Ploso. Sementara, dua orang lagi melanjutkan pengembaraan.

Hingga kemudian, kedua orang yang mengembara tadi bertemu lagi dengan Tlogo yang lain. Mereka akhirnya menetap di daerah ini, dan kawasan itu diberi nama Tlogo Mboro.

Seiring waktu, di antara dua telaga itu mulai didatangi orang. Lama-lama jumlahnya bertambah, hingga sepanjang daerah diantara dua telaga itu membentuk perkampungan baru.

Ada kebiasaan yang dilakukan oleh penduduk di kampung itu. Yaitu, kesukaan untuk memelihara ayam. Terutama, ayam jago.

Hingga suatu ketika, tempat itu dilanda pagebluk atau wabah penyakit. Orang-orang yang tertimpa pagebluk, tidak bisa disembuhkan oleh orang biasa. Sampai kemudian, ada seseorang yang mampu menghilangkan wabah penyakit itu.

Caranya, penduduk yang berada di sebelah barat kampung itu harus berpindah ke sebelah timur kampung. Pagebluk itupun hilang. Wilayah di timur kampung itu kemudian diberi nama Sido Wungu. Sido berarti jadi, dan wungu berarti tangi atau bangun. Akhirnya, di daerah itu memang banyak warga yang jarang tidur di malam hari. Sementara, kawasan barat tetap dikenal sebagai daerah Mboro. Hingga kemudian, secara turun-temurun, pemimpin di kawasan itu biasa dipanggil sebagai Lurah Mboro.

Anak Modin yang Jadi Keamanan Terminal

Gus Koiri atau Muhammad Sukoiri, lahir di Sidowungu, Menganti, Gresik. Tepatnya pada tanggal 5 Agustus 1976. Berasal dari keluarga biasa saja.

Ayahnya, seorang modin yang bertugas di bagian Kesra di salah satu kelurahan di Dinoyo, Surabaya. Selain itu, lebih banyak menggunakan waktunya untuk mengajar ilmu tauhid.

Gus Koiri, lima bersaudara. Dia anak terakhir. Tak ada penghasilan tetap dari ayahnya yang modin. Selain mengajar, ayahnya juga dikenal sebagai orang yang suka tirakat. Karenanya, sejak usia masih anak-anak, Gus Koiri sudah terbiasa bekerja mencari uang sendiri.

Pendidikan dasarnya, dimulai dengan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Miftakhul Ulum yang ada di Desa Sidowungu. Di antara waktu sekolah, dia berjualan es. Pekerjaan ini dia lakukan hingga lulus madrasah ibtidaiyah.

Kemudian, melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah di Desa Sidowungu, Menganti. Sama seperti waktu masih di ibtidaiyah. Diantara waktu sekolahnya, dia gunakan untuk bekerja. Waktu itu, Gus Koiri sudah mulai berjualan stiker. Sesekali mulai ikut pekerjaan memotong ayam. Dan, sesekali melakukan pekerjaan lain: menjadi kenek angkot ke jurusan Jembatan Merah, kadang ke jurusan Perak, kadang juga ke jurusan Bungurasih.

Pada usia yang masih sangat muda, Gus Koiri mulai mengenal kehidupan jalanan. Ini berlangsung hingga lulus sekolah menengah.

Setelah lulus tsanawiyah, Gus Koiri melanjutkan ke SMA Sunan Giri di Kecamatan Menganti. Masih seperti sebelumnya, Gus Koiri menggunakan waktu diantara waktu sekolah untuk bekerja.

Kali ini sedikit meningkat. Tidak lagi jadi kenek. Tapi, sudah jadi sopir tembak atau sopir pengganti untuk angkot atau Lyn. Energi Gus Koiri cukup berlebih. Selain menjadi sopir, dia juga bekerja sebagai kernet, ikut memotong ayam. Selain itu, masih juga jualan gambar.

Kali ini, Gus Koiri memang bekerja lebih keras dibanding saat masih sekolah di Tsanawiyah. Karena, pada saat masih SMA ini, Gus Koiri tidak hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Tapi, dia sudah harus menghidupi orang lain. Gus Koiri mulai membiayai sekolah anak yatim.

Ini berlangsung hingga tahun ketiga. Gus Koiri lulus SMA dan berniat melanjutkan pendidikan ke pondok. Namun, orangtuanya tidak setuju. Gus Koiri dilarang mondok. Entah apa alasannya.

Yang masih diingat Gus Koiri dari nasehat ayahnya saat itu adalah: “Hidup itu yang penting ada gunanya.”

Gus Koiri kecewa. Dia memilih tidak melanjutkan kuliah dan melanjutkan kehidupan pekerjaannya. Kali ini lebih dalam. Lulus SMA, Gus Koiri masuk ke terminal Joyoboyo, Surabaya. Pekerjaan barunya: menjadi keamanan terminal.

Waktu itu, sekitar tahun 1996. Kehidupan Gus Koiri mulai keras. Terminal, penumpang, sopir angkot, dan berbagai jenis kejahatan di kawasan itu, mulai diakrabi. Namun, tetap saja Gus Koiri melakukan pekerjaan lamanya, yaitu membiayai anak yatim.

Hingga di tahun 1999, Gus Koiri kembali lagi menjadi sopir. Kali ini sopir Lyn jurusan Gresik-Menganti. Berlangsung hingga dua tahun. Sesekali, masih berkeliaran di sekitar Terminal Joyoboyo. Sesekali juga berjualan kaligrafi.

Tahun 2002, Gus Koiri mulai berniat meninggalkan dunia jalanan. Dia mulai ingin menetap di desanya. Dengan modal seadanya, Gus Koiri pun membuka warung kopi. Tidak ada gelas. Tidak ada kompor.

Gus Khoiri, Lurah Mboro

Akhirnya, warung kopi itu dibuka dengan modal perangkat dapur milik ibunya. Sehingga, pada saat itu Gus Koiri harus bolak-balik antara warung dan rumah, jika di salah satu tempat itu membutuhkan kompor.

Hasilnya tidak terlalu besar. Sehingga, sesekali Gus Koiri harus mencari tambahan dengan menjadi sopir angkot. Terkadang, pekerjaan lain juga dilakukan. Pekerjaan yang juga dilakukan oleh rata-rata penduduk di desanya: jualan ayam.

Pernah Gus Koiri membuka lapak di daerah Petemon. Cukup ramai pembelinya. Waktu itu, Gus Koiri sudah menikah. Namun, ada yang aneh dengan pola managemennya.

Setiap ayamnya sudah laku sesuai dengan biaya modal, Gus Koiri hanya mengambil sedikit keuntungan. Dari situ, dia ambil Rp 5000 untuk diberikan pada istrinya. Sisa jualannya, akan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Waktu itu, penjualan ayam bisa mencapai 80 kuintal perhari. Sampai kemudian, Gus Koiri merasa ada yang sakit hati dengan cara berjualannya karena mengganggu harga pasar. Saat itu juga, Gus Koiri memutuskan berhenti berjualan.

Gus Koiri kembali membuka warung kopi, dan sesekali menjadi sopir angkot!

Meski penghasilan tidak terlalu besar, Gus Koiri tetap melakukan kebiasaannya: membiayai anak yatim. Hingga tahun 2003, Desa Sidowungu memasuki masa pergantian kepemimpinan melalui Pemilihan Kepala Desa. Ada tiga calon yang sudah mulai menguat sebagai kandidat.

Entah mengapa, Gus Koiri merasa kurang cocok dengan ketiga calon tersebut. Waktu itu, Gus Koiri sudah mulai mengikuti kebiasaan ayahnya, yaitu suka tirakat. Sehingga, tiba-tiba saja hatinya mendorong agar dia ikut kontestasi pemilihan kepala desa dengan maju sebagai kandidat keempat.

Agak kurang masuk akal. Gus Koiri tidak memiliki biaya kampanye yang cukup karena penghasilan utamanya hanya dari warung kopi. Namun, tekadnya sudah bulat. Dia putuskan untuk menjual satu-satunya harta miliknya, yang juga menjadi sarana transportasi utamanya: sepeda motor Honda Impressa.

Gus Koiri maju sebagai calon Kepala Desa. Uang hasil penjualan sepeda motor, digunakan untuk biaya membuka posko dan tempat berkumpul relawan. Istilahnya: untuk biaya melekan.

Waktu pencoblosan semakin dekat. Uang hasil penjualan semakin menipis. Tidak ada biaya lagi untuk kegiatan lain-lain. Sampai kemudian, menjelang beberapa hari pencoblosan, peta berubah. Hari pencoblosan diundur.

Masalah baru muncul. Gus Koiri sudah tidak memiliki modal sama sekali. Sementara, waktu pengunduran cukup lama. Dalam logika umum, jika ada modal, maka pengunduran jadwal pencoblosan ini bisa menjadi waktu tambahan untuk kampanye. Tapi, modal sudah habis.

Gus Koiri memilih berserah diri. Sebuah prinsip yang sudah dijalani selama berpuluh tahun. Bahwa nasib, rejeki, kematian dan apa yang terjadi pada dirinya, adalah karena ketentuan Allah SWT.

Tiba-tiba muncul dorongan dari diri Gus Koiri agar melakukan perjalanan tirakat. Menjalani ritual dengan berziarah ke makam para wali. Tanpa persiapan apapun, tanpa rencana apapun, Gus Koiri pun melakukan perjalanan. Sendirian. Tanpa uang, tanpa kendaraan: berjalan kaki!

Ada delapan makam wali yang dilalui dalam ritual jalan kaki ini. Sampai hari Gus Koiri kembali ke desanya, tak berapa lama hari pencoblosan pun tiba. Pesta demokrasi berlangsung. Dan, berakhir dengan terpilihnya Gus Koiri sebagai Kepala Desa Sidowungu, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik dengan kemenangan mutlak!

Patungan Untuk Biaya Plantikan

Gus Koiri menjalani awal masa jabatannya sebagai Kepala Desa dengan tetap melakukan pekerjaan sambilan sebagai sopir angkot. Biaya pelantikannya pun dibantu oleh patungan dari kawan-kawannya sopir angkot.

Sebagian orang masih sulit menalar dengan terpilihnya Gus Koiri sebagai Kepala Desa di Desa Sidowungu. Namun, dalam perjalanan sebelum terpilih, nama Gus Koiri memang sudah dikenal.

Selama menjalani kehidupan di jalanan saat masih muda, menempa diri Gus Koiri menjadi orang yang tidak mudah takut. Tidak suka dengan ancaman-ancaman fisik, apalagi hingga merampas dan merusak milik orang.

Waktu itu, Desa Sidowungu sering menjadi tujuan para preman dari daerah lain. Karena di daerah itu menjadi pusat penjualan dan pemotongan ayam, para preman itu sering kali memeras dan meminta ayam secara paksa pada penduduk.

Selain itu, di kawasan Sidowungu dan sekitarnya, perkelahian dan tawuran menjadi semacam tradisi. Ada sedikit saja persinggungan antar kelompok, baik di acara hiburan warga atau di jalan, selalu berakhir dengan perkelahian atau tawuran.

Gus Koiri tidak nyaman dengan suasana itu. Seringkali, sendirian dia menangani masalah tawuran. Mulai melerai sampai mendamaikan. Kadang, risiko diterimanya. Entah dikeroyok atau diserang orang tak dikenal. Tapi, tiap kejadian yang ada selalu membuatnya bertambah kuat. Kuat untuk membantu yang lemah, dan menghentikan cara-cara penyelesaian masalah dengan kekerasan.

Terpilihnya Gus Koiri sebagai Kepala Desa membawa perubahan baru. Setidaknya, situasi desa menjadi lebih aman. Tidak ada lagi pemerasan atau pemaksaan dari orang luar ke Desa Sidowungu. Masyarakat mulai merasa aman.

Masalah baru muncul. Sebagai Kepala Desa, Gus Koiri akhirnya menjadi orang yang menjadi tujuan warga. Terutama jika warga sedang mengalami musibah atau kesulitan.

Gus Koiri berusaha semaksimal mungkin membantu warga. Bahkan, pernah suatu kali, dia terpaksa menggadaikan sepeda motornya untuk membantu warga yang sedang kesusahan. Ketika sepeda motor itu bisa ditebus, terpaksa digadaikan lagi karena ada warga lain yang juga membutuhkan bantuan. Begitulah kehidupan awal Gus Koiri menjalani tugasnya sebagai Kepala Desa.

Persoalan lain juga muncul, yaitu sarana jalan desa yang hancur. Karena waktu itu belum ada dana desa, dan masih sulit menghimpun dana sukarela dari warga, Gus Koiri pun menggunakan uang penghasilannya sebagai Kepala Desa untuk membiayai pengecoran jalan.

Waktu itu, Gus Koiri juga mulai menghimpun komunitas dari kalangan marjinal. Mereka dibina, dibantu pembiayaan sekolah bagi yang mau. Bersama mereka pula, Gus Koiri membangun jalanan.

Bahkan, untuk menghemat biaya, Gus Koiri harus mencari material-material bekas yang bisa digunakan untuk memperbaiki jalan. Hasilnya, kondisi kehidupan warga mulai membaik dengan adanya sarana jalan yang layak.

Hingga masa pemerintahan Gus Koiri berakhir. Pada pemilihan Kepala Desa berikutnya, Gus Koiri maju lagi dan terpilih. Catatan penting saat terpilih untuk kedua kali ini adalah: Gus Koiri masih punya utang karena harus membiayai pembangunan jalan desa.

Semua dijalani oleh Gus Koiri. Prinsip yang ditekankan ayahnya, direalisasikan dalam bentuk nyata: hidup harus berguna.

Pada saat menjalani masa pemerintahan sebagai Kepala Desa ini pula, Gus Koiri mulai bias meningkatkan kualitas pendidikannya sendiri. Gus Koiri melanjutkan pendidikan dengan kembali bersekolah.

Gus Koiri melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Kartini, Surabaya.

Pada masa berikutnya, beruntung pula mulai ada dana bantuan dari pemerintah pusat untuk pemerintahan desa. Pembangunan di Desa Sidowungu makin meningkat. Pemindahan pasar, pemindahan kantor kelurahan, pembangunan jalan hingga pembuatan sarana lapangan sepak bola bisa diwujudkan.

Komunitas Wong Bodo yang didirikan oleh Gus Koiri juga berkembang. Awalnya, komunitas ini banyak membantu dengan cara memberikan makan gratis pada orang yang tidak mampu. Selanjutnya berkembang dengan memberikan makanan gratis pada acara-cara keagamaan dalam jumlah ribuan.

Begitu juga dengan bantuan gratis mobil ambulan. Awalnya, ada mobil pribadi Gus Koiri yang dimodifikasi sebagai ambulan. Jumlahnya hanya satu unit. Lama-lama berkembang, hingga kini sudah ada 6 unit ambulan yang digunakan untuk melayani warga kurang mampu secara gratis.

Tentang ambulan ini, Gus Koiri memiliki kisah tersendiri. Semua berawal ketika ada warganya yang mengalami musibah di rumah sakit. Waktu akan meninggalkan rumah sakit, warga tersebut harus menggunakan ambulan. Namun, dia tidak bisa menggunakan ambulan karena tidak ada biaya.

Sejak itu, Gus Koiri bertekad untuk memiliki ambulan, yang bisa digunakan untuk membantu orang-orang yang tidak mampu, yang membutuhkan ambulan. Karena tidak ada uang untuk membeli yang baru, terpaksa mobil pribadinya dimodifikasi menjadi ambulan.

Bagi Gus Koiri, ini adalah konsekuensi yang harus dia hadapi ketika berani mengambil pilihan untuk menjadi pemimpin: berani susah untuk membantu warganya.

Pemimpin Adil

Gresik telah bertumbuh menjadi wilayah padat. Industri, perumahan, bisnis, infrastruktur fisik, perekonomian terus berkembang. Pertanian, peternakan, perikanan juga berkembang. Hal yang sama juga terjadi pada keadilan, kelompok miskin, dan kelompok rentan pada kemiskinan: juga meningkat.

Tahun 2015, Gus Koiri kembali terpilih sebagai Kepala Desa Sidowungu untuk masa jabatan ketiga. Gus Koiri mulai merasa persoalan yang dihadapi masyarakat semakin meningkat. Bukan hanya di desanya, tapi juga di kawasan Gresik.

Inilah yang membuat Gus Koiri mulai terus mendorong, agar kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh kawan-kawan di komunitas yang dia bina, atau di komunitas lain, semakin aktif dalam membantu masyarakat.

Terutama, bantuan secara langsung. Bantuan dalam bentuk pemberian pangan, pakaian, termasuk berbaikan tempat tinggal atau bedah rumah. Juga, bantuan dalam bentuk layanan seperti ambulan gratis.

Tentu, Gus Koiri masih terikat pada kewajiban untuk mengabdi dan melayani masyarakat Sidowungu. Namun, ini juga tidak membuatnya berhenti untuk bisa membantu masyarakat yang lain.

Karena itulah, Gus Koiri melihat bahwa peran pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya sangat penting. Terutama untuk memastikan terjadinya peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi warganya.

Gus Koiri menilai, Kabupaten Gresik masih memiliki banyak persoalan sosial. Terutama dalam hal distribusi kesejahteraan. Masih terasa seperti ada kesenjangan dalam menerapkan kebijakan distribusi kesejahteraan.

Bagaimanapun juga, Kabupaten Gresik memiliki profil masyarakat yang berbeda latar belakang sosial dan kulturalnya. Begitu juga mata pencaharian. Ada masyarakat di utara yang bergantung pada sektor perikanan. Ada masyarakat di selatan yang bergantung pada sektor pertanian dan industri rumah tangga.

Peningkatan kesejahteraan tidak bisa terjadi jika distribusi kesejahteraan itu sendiri tidak merata. Gus Koiri melihat, perlu sikap yang berani dan obyektif dari seorang pemimpin untuk berlaku adil pada distribusi kesejahteraan.

Selain itu, Kabupaten Gresik selama berabad-abad telah hidup dalam keberagamaan. Posisi strategis Kabupaten Gresik yang berdekatan dengan kota besar Surabaya, tidak serta-merta menghilangkan akar kultural Gresik.

Gus Koiri meyakini bahwa kemajuan Gresik akan pesat jika ditopang dengan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan dan kearifan lokal yang telah dibangun oleh para wali di masa lampau, dan tokoh-tokoh penting pada sejarah Gresik.

Bagi Gus Koiri, kearifan lokal inilah yang akan mampu mendorong kelompok produktif di Kabupaten Gresik untuk bisa lebih kreatif dalam meningkatkan usaha perekenomian. Pada situasi ini, dukungan dari kepemimpinan daerah sangat menentukan.

Tanpa keterlibatan dan dukungan langsung, menerapkan kearifan lokal pada kehidupan sosial maupun peningkatan usaha ekonomi produktif di Kabupaten Gresik, akan sulit teralisasi.

Selain itu, Gus Koiri juga melihat bahwa pertumbuhan investasi di bidang industri dan usaha produktif lain, harus didukung dengan reformasi birokrasi yang baik. Merit system dimana seorang aparatur sipil pemerintahan yang berprestasi bisa dihargai dan ditempatkan secara profesional dan proporsional, akan mendorong terjaminnya kehidupan industri dan perekonomian semakin membawa kemanfaatan. Termasuk di dalamnya adalah peningkatan pelayanan umum. Inilah yang menjadi komitmen Gus Koiri dalam kepemimpinannya. [IM]

Klik Magazie Versi PDF

Komentar

About Author /

Start typing and press Enter to search