Khilafah dan Perpecahan Ummat Islam

Peristiwa pemberontakan terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan yang berakhir dengan terbunuhnya sang khalifah dan disusul dengan peperangan yang terjadi setelahnya: perang Siffin dan perang Jamal, memiliki dampak negatif yang besar bagi Umat Islam sepanjang sejarah.

Pasca peristiwa pemberontakan yang sering disebut ahli sejarah sebagai ‘fitnah’ ini, Umat Islam terkotak-kotak menjadi Sunni, Syiah, Khawarij, Murjiah, Jabariyyah, Qadariyyah dan lain-lain. Masing-masing sekte ini mengklaim sebagai sekte yang paling benar.

Dalam tradisi Islam, lahirnya sekte-sekte keagamaan ini sebenarnya bermula dari perbedaan sikap politik. Perbedaan sikap politik ini menjurus ke perbedaan cara dalam memahami agama.

Ironisnya, di Indonesia dan beberapa negeri lainnya, bermunculan suara-suara yang ingin menghidupkan kembali masa-masa ‘indah’ kekhilafahan(?) Islam ini tanpa melihat secara kritis sisi gelapnya yang kelam yang menyebabkan perpecahan begitu akut dalam tubuh Umat Islam sampai saat ini.

Kekosongan Regulasi

Dengan membaca data-data kesejarahan secara kritis, dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada tiga kekosongan “undang-undang” dalam sistem kekhalifahan saat itu yang menyebabkan terjadinya pemberontakan, atau ‘fitnah’ dan krisis politik yang memecah belah umat Islam:

Pertama, dalam sistem Khilafah Rasyidah saat itu, tidak adanya sistem pemilihan khalifah yang baku. Abu Bakar dipilih menjadi khalifah secara mendadak dalam perkumpulan di Bani Saqifah. Umar saat itu mengakui bahwa Abu Bakar dipilih karena falitah ‘keceplosan/keseleo lidah’ dan itu artinya karena dadakan bukan karena sistem baku yang mengatur sistem pemilihan pemimpin.

Pemilihan Umar bin Khattab sebagai khalifah juga dilandasi oleh ketiadaan sistem yang mengaturnya. Umar menjadi khalifah berdasarkan kepada proses penunjukan dari khalifah sebelumnya. Pemilihan Umar sebagai khalifah ini jelas berbeda dari penunjukkan Abu Bakar.

Pemilihan Uthman bin Affan sebagai khalifah juga berbeda dari model pemilihan sebelumnya. Uthman bin Affan ditunjuk berdasarkan keputusan komite syura yang berjumlah enam sahabat yang dibentuk Umar.

Sebab Perpecahan

Di sini kita temukan beberapa varian dalam sistem pemilihan khalifah. Dengan banyaknya varian ini, menunjukkan tidak ada regulasi yang pasti yang bisa dijadikan pijakan dalam memilih khalifah. Namun ketiadaan sistem pemilihan khalifah yang baku ini pula yang menjadi faktor terjadinya konflik di masa kemudian.

Kedua, dalam sistem Khilafah Rasyidah saat itu tidak ada ketentuan pasti mengenai batasan masa jabatan khalifah atau amir. Amir dalam bahasa Arab klasik mengandung arti ‘panglima perang’. Karena tidak ada yang tahu saat itu sampai kapan peperangan berlangsung, maka tidak masuk akal jika masa kepemimpinan amir ‘panglima perang’ ini dibatasi. Kepemimpinan amir berlangsung selama perang terjadi kecuali jika dicopot dari jabatannya atau terbunuh dalam medan perang. Ketika itu, posisinya akan digantikan oleh orang lain. Dan ketika tidak ada perang, posisi amir sama seperti rakyat biasa lainnya, tidak ada pembedaan.

Oleh karena tidak ada nas agama dari al-Quran dan Hadis yang mengatur masalah pemerintahan atau negara, terutama soal batasan sampai kapan seorang pemimpin menjadi kepala negara. Karena bangsa Arab juga tidak memiliki konsep dan tradisi yang jelas dalam persoalan batasan masa kepemimpinan khalifah, maka model ‘amir’ yang hadir dalam imajinasi umat Islam pasca wafatnya nabi ialah model panglima perang.

Ketika memilih Abu Bakar sebagai pengganti Nabi, para sahabat tidak memaksudkannya sebagai pengganti kenabian melainkan sebagai pengganti kepemimpinan politik, yang salah satu persoalan terbesar saat itu ialah memerangi kaum murtad.

Karena itu, para sahabat memilih Abu Bakar untuk mengisi jabatan sebagai panglima umum pasukan beriman saat itu. Sehingga, tidak terpikirkan dalam benak sahabat sampai kapan Abu Bakar akan memimpin. Ketika Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khattab. Orang-orang riskan memanggil Umar sebagai khalifat khalifah Rasulillah ‘pengganti dari pengantinya Nabi’ lalu mereka akhirnya memanggilnya sebagai Amir al-Mukminin.

Akhirnya Umar menerima julukan tersebut karena  baginya panggilan tersebut mengekspresikan tugas dan fungsi yang diembannya sendiri, yakni menjadi panglima tertinggi atau panglima umum bagi pasukan kaum mukminin yang saat itu berada dalam peperangan mengalahkan sisa-sisa kaum murtad, menaklukan Persia di Irak dan menaklukan Romawi di Suriah.

Sebab, itu bukan sesuatu yang bijak jika kemudian masa kepemimpinannya dibatasi lima sampai sepuluh tahun seperti di Indonesia misalnya sementara pasukan Umat Islam saat itu sedang melakukan penaklukan besar-besaran.

Kemudian Umar ditikam dan wafat sementara peperangan masih berlangsung yang pada akhirnya Uthman bin Affan ditunjuk sebagai penggantinya dengan mengemban tugas yang sama, khalifah = Panglima = Panglima Umum pasukan kaum beriman. Problem yang muncul dalam pemerintahan Uthman bin Affan ialah masa pemerintahannya yang lama sehingga banyak elemen masyarakat yang merasa jenuh.

Problem Keadilan

Di akhir masa pemerintahan yang lama itu, terjadi banyak ketidakpuasan di kalangan rakyat (al-mukminin-tentara), terutama dalam soal ekonomi dan politik. Dalam soal ekonomi, masyarakat tidak puas soal pembagian harta ghanimah yang tidak adil dan tidak merata. Utsman bin Affan masih mengikuti gaya Umar bin Khattab dalam pembagian harta ghanimah.

Pembagian harta ghanimah ala Umar ialah pembagian yang didasarkan kepada asbaqiyyah fi al-islam (keterdahuluan masuk Islam) dan kedekatan kesukuan dengan Nabi. Semakin dahulu masuk Islam dan semakin dekat sukunya dengan Bani Hasyim maka akan mendapatkan ghanimah yang lebih besar daripada sahabat lainnya.

Pembagian harta ghanimah seperti ini dilakukan oleh Utsman secara berlebihan, dan bahkan karena Bani Umayyah dekat secara kesukuan dengan Nabi, Utsman bin Affan lebih mementingkan sukunya dalam pembagian harta ini.

Sehingga, dalam kebijakan seperti ini makin belakangan masuk islam dan makin jauh secara kesukuan dengan nabi, maka semakin sedikit bagian ghanimah yang diperoleh. Inilah yang pada tahap selanjutnya menyebabkan harta hanya dimiliki oleh elit-elit tertentu dan melahirkan letupan-letupan ketidakpuasan dan kesenjangan sosial di kalangan masyarakat bawah (Perlu diketahui bahwa struktur sosial di masa itu seperti yang dikatakan Ibnu al-Arabi hanya terdiri dari dua elemen: kepala negara dan tentara. Rakyat pada masa khilafah ialah kaum beriman yang menjadi tentara. Jadi ada amir dan ada pasukan beriman)

Dalam soal politik, Utsman terbilang lemah dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Utsman terkenal dengan lemah lembutnya apalagi umurnya yang panjang membuatnya tidak mampu berpikir jernih dan bertindak tegas termasuk kepada anggota sukunya sendiri, Bani Umayyah. Dengan semua persoalan tersebut, Uthman diminta mencopot anggota keluarganya yang menjadi gubernur-gubernur di berbagai wilayah dan menggantinya dengan orang-orang yang dipilih para demonstran. Uthman menolak.

Akhirnya, ia diminta mundur dari jabatannya oleh para demonstran dari berbagai wilayah Islam. Utsman menolak permintaan mundur tersebut. Baginya, tidak ada hukum yang mengharuskannya lengser dari kekuasaan. Karena krisis tersebut tidak bisa dipecahkan dengan jalur hukum/aturan/undang-undang mengingat ketiadaan legitimasi dari syariat dan adat, maka satu satunya solusi yang muncul saat itu ialah pedang. Utsman dibunuh oleh rakyatnya sendiri.

Sebab Kematian Khalifiah

Sistem pemerintahan yang tidak memiliki cara pemilihan pemimpin secara baku dan tidak adanya penentuan masa jabatan yang jelas ini terus berlanjut hingga masa Ali bin Abi Thalib. Dengan kata lain, peralihan kekuasaan hanya bisa dilakukan ketika pemimpin sebelumnya mati.

Masa jabatan kekhilafahan bersifat seumur hidup. Ketika kematian biasa tak kunjung datang  dan sementara krisis belum bisa diatasi oleh pihak yang berkuasa, maka solusi untuk disegerakannya peralihan kekuasaan ialah melalui pembunuhan berencana, dengan racun atau dengan cara lain. Inilah yang terjadi pada Utsman dan Ali.

Keduanya dibunuh oleh rakyatnya sendiri. Ketiadaan aturan mengenai batas akhir masa jabatan pemerintah ini berdampak pada munculnya ‘fitnah’ yang pada tahapan selanjutnya dapat menggulingkan sistem kekhilafahan dan menggantikannya dengan sistem kerajaan.

Ketiga, dalam sistem Khilafah Rasyidah tidak ada aturan yang mengatur sejauh mana batasan wewenang pemimpin dalam sistem kekhalifahan. Peristiwa pembunuhan Uthman terjadi karena tidak ada hukum atau aturan yang membatasi wewenang pemimpin dalam sistem kekhilafahan. Di masa Abu Bakar dan Umar masalah wewenang ini tidak terlalu muncul ke permukaan. Di masa Uthman, problem pembatasan kewenangan ini baru muncul ke permukaan karena ketidakpuasan di akar rumput.

Dengan menggunakan imaginasi sosial “panglima perang” dalam menganalisis ini, akan tergambar dalam benak kita bahwa wewenang panglima tentara dalam perang tidak terbatas, tugasnya hanya mengatur strategi perang dan berusaha mendapatkan kemenangan.

Jadi batasan kewenangan ini merupakan sesuatu yang tidak muncul dalam pemerintahan saat itu, bahkan tak terpikirkan sama sekali. Sementara semua tuntutan yang disampaikan para demonstran kepada Utsman bermuara kepada satu persoalan, persoalan bahwa Utsman telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai khalifah demi untuk kesejahteraan pribadi dan sukunya: menunjuk gubernur dari kalangan Bani Umayyah, membagi seperlima harta ghanimah kepada keluarganya dan lain-lain.

Utsman menolak semua tuntutan para demonstran tersebut karena baginya wewenang khalifah ialah membelanjakan harta negara sekehendaknya. Selain itu, kewenangan dirinya sebagai khalifah ialah memilih gubernur dan pegawai pemerintahan. Pemerintahan akan kehilangan artinya jika sang khalifah tidak memiliki kewenangan membagikan harta sekehendaknya dan tidak bisa memilih gubernur dan para pekerjanya. Bagi para demonstran saat itu, Utsman telah melampaui batas-batas kewenangannya sebagai khalifah. Ketiadaan batasan wewenang inilah yang pada tahap selanjutnya menjerumuskan sistem kekhalifahan ke dalam krisis yang akut dan tidak ada solusi lain kecuali dengan pedang.

Jadi pada intinya, tidak ada sistem pemerintahan yang ditetapkan secara pasti oleh Islam. Yang ada dan yang selalu digunakan sejak awal dan setelah kematian Nabi hanyalah sistem pemerintahan yang berlandaskan imaginasi mengenai model kepemimpinan ‘panglima perang’ (amir al-mukminin).

Tidak Ada Sisitem Pemerintahan Islam

Jadi pada intinya, tidak ada sistem pemerintahan yang ditetapkan secara pasti oleh Islam. Yang ada dan yang selalu digunakan sejak awal dan setelah kematian Nabi hanyalah sistem pemerintahan yang berlandaskan imaginasi mengenai model kepemimpinan ‘panglima perang’ (amir al-mukminin).

Model pemerintahan ini sangat dibutuhkan di saat itu dan di masanya mampu mengatasi berbagai persoalan. Namun ketika Islam berkembang pesat dan tersebar ke berbagai penujuru, model pemerintahan berdasarkan kepada kerangka kerja ‘panglima perang’ (amir) dengan tiga kekurangan yang telah disebut di atas tidak mampu lagi menghadapi dan mengimbangi perkembangan sosial dan peradaban saat itu.

Oleh karena itu, persoalan menegakkan kembali kekhilafahan di masa ini seharusnya mempertimbangkan dulu situasi dan struktur sosial di masa itu: masa dakwah Nabi, masa riddah ‘masa memerangi orang-orang murtad’ dan masa fitnah ‘masa terbunuhnya Uthman dan terjadinya perang Siffin dan Jamal’.

Masa dakwah Nabi digerakkan oleh prinsip musyawarah dan semangat egalitarianisme seperti tercermin dalam relasi sosial Muhammad wa Sahabatuhu, masa riddah digerakkan oleh imaginasi sosial ‘panglima perang’, dan yang ketiga, masa fitnah, digerakkan oleh dampak negatif dari imaginasi ‘panglima perang’ ini dengan tiga poin kekosongan hukum dan aturan dalam sistem khilafah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Setelah masa fitnah ini, masa kerajaan muncul menggantikan sistem kekhalifahan namun logika militerisme dan imagi sosial ‘panglima perang’ masih banyak digunakan dengan banyak modifikasi. Karena itu, yang bertahan sampai sekarang dalam sistem pemerintahan Islam ialah kerajaan dengan ideologi militerisme dan imaginasi kuat tentang panglima perang sehingga si pemangku kekuasaan tidak dibatasi masa jabatan dan wewenangnya.

Abdul Aziz (Direktur Kajian dan Studi Islam Lembaga Dialektika, Dosen di Universitas Pamulang)

Klik Magazie Versi PDF

Komentar

About Author /

Start typing and press Enter to search