Deadlock Cawapres, Yenny Wahid, dan “Booster” Elektoral Capres 2024

Pilpres 2024 diwarnai dengan deadlock Cawapres, setidaknya dua koalisi yaitu kubu Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo hingga saat ini kesulitan menentukan Cawapres.

Berbagai simulasi nama Cawapres terus muncul, disandingkan, dan ramai di pemberitaan. Namun kedua kandidat Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo tidak kunjung mendeklarasikan sosok Cawapres. Berbagai analisa kemudian muncul misalnya dengan situasi elektabilitas Capres yang cenderung stagnan di elektabilitas dengan angka 30% di Prabowo dan Ganjar dan 20% di Anies-Muhaimin, maka kehadiran sosok Cawapres menjadi faktor kunci penentu kemenangan.

Variabel yang ramai jadi ukuran adalah dibutuhkannya sosok Cawapres yang dapat memberikan reperesentasi suara berbasis pemilih nahdliyin, representasi jawa, millenial, dan tentu saja representasi pemilih perempuan. Yang mana representasi tersebut saat ini memiliki cerug pemilih yang cukup tinggi.

Situasi ini boleh dibilang mirip dengan Pemilu Amerika 2020 lalu. Joe Biden saat itu memilih senator Kamala Harris sebagai Cawapres untuk menghadapi Donald Trump. Kamala Harris saat itu menjadi penyempurna Joe Biden dengan kehadiran sosok Cawapres yang mampu merepresentasikan pemilih perempuan, kulit hitam dan keturunan Asia. Kamala Harris menjadi anti tesa Donald Trump dengan memperjuangkan kulit hitam, perempuan dan kelompok minoritas dan migran.

Pemilu Amerika 2020 menunjukkan bahwa hasil berbagai jajak pendapat di Amerika mengungkapkan usai Joe Biden menunjuk Kamala Harris sebagai Cawapres Joe Biden langsung memperoleh “booster politik” dengan peluang menang 71 persen (rilisi survei Five Thirty Eight). Dan Pasangan Joe Biden-Kamala Harris kemudian mampu mengalahkan Donald Trump-Mike Pence di hari h Pemilu Amerika.

Yenny Wahid dan Booster Elektoral Capres 2024

Sosok Yenny Wahid Putri Gus Dur yang bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh saat ini berpotensi menjadi Kamla Harris-nya Indonesia. Ditengah stagnan elektabilitas dua Capres kuat Prabowo dan Ganjar nama Yenny Wahid memiliki potensi besar menjadi “booster” mendobark elektabilitas Capres dengan cerug segmen pemilih besar yaitu sosok Cawapres yang merepresentasikan pemilih perempuan, berbasis nahdliyin, milenial dan representasi kelompok minoritas.

Ada beberapa variabel, yang setidaknya bisa dianggap melekat pada sosok Yenny Wahid. Paling umum, Yenny Wahid adalah salah satu tokoh penting di kalangan Nahdliyin, yang dalam analisis politik elektoral di Indonesia sering dilekatkan pada suatu kekuatan pemilih yang besar dan berpengaruh.

Yenny Wahid, juga dilekatkan pada Gusdurian, sebuah gerakan sosial lintas golongan, yang eksistensinya dalam dinamika demokrasi di Indonesia, sangat diperhitungkan. Terutama, dalam gerakan-gerakan moral untuk membela keadilan diantara dua arus yang sering kontradiktif: mayoritas dan minoritas.

Variabel berikutnya adalah perempuan. Meskipun Yenny Wahid bukan satu-satunya sosok perempuan yang namanya diunggulkan dalam dinamika kontestasi politik nasional, namun daya elektoral namanya terlihat lebih unggul dibanding tokoh-tokoh perempuan yang selama ini sering disimulasikan dalam survei-survei kepemimpinan nasional.

Unggul Survei

Ada tiga Lembaga Survei baru baru ini merilis dan Unggulkan Yenny Wahid Jadi Cawapres Representasi Perempuan, NU dan Milenial

Hasil tiga lembaga survei melalui jajak pendapat mereka nama Yenny Wahid selalu konsisten dengan elektabilitas tertinggi sebagai Bakal Calon Wakil Presiden (Bacawapres) dari kalangan perempuan untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Setidaknya hal itu terpotret dari survei yang dilakukan tiga lembaga survei. Survei pertama dilakukan oleh lembaga Rumah Demokrasi dalam rentang waktu dari 28 Agustus hingga 4 September 2023. Survei ini dilakukan secara regional di dua wilayah, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Hasilnya, ada dua nama tokoh perempuan yang sering disebut dan mulai disimulasikan dengan calon presiden yang ada baik itu Ganjar Pranowo maupun Prabowo Subianto. Keduanya tokoh ini yaitu putri Gus Dur, Yenny Wahid dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.

Dalam paparannya, pimpinan Rumah Demokrasi, Ramdansyah mengungkapkan bahwa terdapat respon positif terhadap munculnya Cawapres perempuan pada Pilpres 2024. Yenny Wahid Dinilai Cawapres Paling Rasional dan Paling Potensial Melalui simulasi pertanyaan top of mind pendapat responden jika ada cawapres perempuan di Pilpres 2024.

Sebagain besar responden setuju, mendukung dan mendorong munculnya kepemimpinan perempuan dalam kontestasi Pilpres 2024. Survei juga menemukan beberapa argumen yang disampaikan responden, di antaranya adalah untuk membuka ruang politik yang pro gender, kehadiran perempuan di posisi strategis, pentingnya tokoh perempuan di posisi strategis untuk memperjuangkan kepentingan kaum perempuan.

Adapun pendalaman pertanyaan yang dilakukan terhadap responden terkait dengan temuan respon positif tersebut, dilakukan dengan mengajukan pertanyaan apakah responden akan memilih cawapres perempuan, menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan memilih jika ada Cawapres Perempuan pada kontestasi Pilpres 2024. Temuan survei Rumah Demokrasi menunjukkan sebanyak 55,6% responden merepson positif dan akan memilih cawapres perempuan.

Kemudian, sebanyak 21% tidak memilih, sebanyak 7,2% ragu-ragu dan 15,9% Tidak Tahu/Tidak menjawab. Dalam paparanya, Pimpinan Rumah Demokrasi Ramdansyah menilai bahwa peluang keterpilihan cawapares perempuan cukup besar di Pilpres 2024.

“Temuan survei ini menunjukkan bahwa hadirnya Cawapres Perempuan direspon positif publik khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan 55,6% publik akan memilih Cawapres Perempuan jika nantinya maju di kontestasi Pilpres 2024,” Jelas Ramdansyah dalam paparannya.

Dalam paparannya, Ramdansyah, mengungkapkan saat responden diajukan pertanyaan dengan metode tertutup simulasi lima nama cawapres perempuan dengan pertanyaan: Jika Pilpres dilaksanakan hari ini anda memilih Cawapres siapa?, ditemukan hasil mayoritas reponden menjawab memilih Yenny Wahid.

Nama Yenny Wahid saat tersebut memiliki elektabilitas tertinggi. Hasil survei Rumah Demokrasi menunjukkan elektabilitas Yenny Wahid sebesar 30,2%, kemudian disusul Khofifah Indar Parawansa 22,8%. Nama lain yang muncul adalah Susi Pudjiastuti 17,7%, Sri Mulyani 12,6% dan Puan Maharani 8,7%. Sementara itu, sebanyak 8,1% responden belum menentukan pilihan.

Sosok Yenny Wahid berpotensi menjadi Kamala Harris-nya Indonesia. Ditengah stagnan elektabilitas Capres, Yenny Wahid memiliki potensi besar menjadi “booster” mendobark elektabilitas Capres dengan cerug segmen pemilih besar yaitu perempuan, nahdliyin, milenial dan representasi kelompok minoritas.

Paparan Survei Dialektika Institute Cawapres Perempuan

Cawapres Representasi Perempuan

Survei kedua dilakukan oleh Dialektika Institute dimana Nama Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid meraih elektabilitas tertinggi sebagai cawapres perempuan di basis Nahdlatul Ulama (NU) menjelang Pilpres 2024.

“Sebanyak 27,6 persen responden survei memilih nama Yenny Wahid sebagai kandidat Calon Wakil Presiden,” kata Direktur Riset Dialektika Institute Mheky Polanda.

Sementara sebanyak 25,4 persen memilih nama Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Perempuan lain ada nama Ketua DPR RI Puan Maharani.

Menurutnya, survei Dialektika Institute dilakukan untuk mendalami isu mutakhir yang muncul di ruang publik, yaitu munculnya kandidat potensial calon wakil presiden untuk Pilpres 2024 dari kalangan perempuan.

Pada survei ini, juga dilakukan pengukuran terhadap elektabilitas Cawapres melalui simulasi nama pasangan dengan pertanyaan tertutup “Jika Pilpres 2024 dilakukan hari ini anda akan memilih Cawapres siapa?,

Simulasi pasangan Capres-cawapres pasangan Prabowo-Yenny Wahid mendapat dukungan sebesar 40,7 persen dari responden. Sementara simulasi pasangan Ganjar Pranowo-Yenny Wahid memperoleh dukungan sebesar 32 persen dari responden.

Cawapres Representasi NU dan Milenial

Sementara itu survei terbaru dilakukan Lembaga Survei Independen Nusantara (LSI-Nusantara). Dalam survei yang dirilis Minggu (1/10/) ini, LSIN merilis hasil jajak pendapat soal sosok bakal calon wakil presiden (Bacawapres) perempuan. Hasilnya, melalui simulasi pertanyaan tertutup terkait siapa sosok Bacawapres pilihan responden, jawaban tertingginya adalah Yenny Wahid.

“Jadi saat responden diajukan pertanyaan, jika Pilpres dilaksanakan hari ini anda memilih Cawapres Perempuan siapa? dengan simulasi 5 nama Yenny Wahid memperoleh elektabilitas tertinggi 31,6 persen,” kata Yasin Mohammad selaku founder dari LSI Nusantara dalam keterangan diterima, Senin (2/10/2023).

Adapun empat nama setelah Yenny adalah Khofifah Indar Parawansa (29,0 persen) di posisi kedua, kemudian Susi Pudjiastuti (9,2 persen) dan posisi keempat adalah Puan Maharani (7,2 persen) dan terakhir ada nama Sri Mulyani (4,0 persen). Sementara yang tidak menjawab atau belum menentukan pilihan 19,0 persen.

Yasin melanjutkan, kelima nama tersebut coba dikerucutkan oleh LSI Nusantara menjadi tiga kandidat. Hasilnya, nama Yenny tetap yang paling unggul.

“Saat disodorkan 3 nama dengan simulasi tertutup Yenny Wahid memperoleh elektabilitas tertinggi 34,4 persen, Khofifah Indar Parawansa 33,6 persen, Puan Maharani 9,7 persen dan yang tidak menjawab atau belum menentukan pilihan 22,3 persen,” tandas Yasin

Kemudian, untuk berpasangan dengan Prabowo dengan simulasi tertutup, Prabowo-Yenny Wahid memperoleh elektabilitas tertinggi yaitu mencapai 38,2 persen, Prabowo-Khofifah 37,0 persen, Prabowo-Puan Maharani 29,6 persen.

Sementara terkait bakal calon wakil presiden (cawapres) dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Ada empat nama dari NU muncul antara lain Erick Thohir, Yenny Wahid, Mahfud MD, dan Khofifah Indar Parawansa. Yasin mengatakan elektabilitas Ganjar tertinggi bila menggandeng Yenny Wahid. Angkanya mencapai 33 persen.

“Sedangkan simulasi Ganjar dengan Erick Thohir 32,8 persen, dengan Mahfud MD 30,4 persen, dan dengan Khofifah 30,2 persen,” ujar dia.

Senada, elektabilitas Prabowo tertinggi bila berpasangan dengan Yenny yang mencapai 38,2 persen. Sedangkan simulasi Prabowo dengan Erick Thohir 38,1 persen.

“Berikutnya simulasi Prabowo dengan Khofifah 37 persen dan dengan Mahfud MD 36,4 persen,” jelas Yasin.

Jika dilakukan simulasi pasangan dengan representasi Cawapres Millenial pasangan Ganjar-Yenny Wahid memperoleh elektabilitas tertinggi 33,0%, Ganjar – Erick Thohir 32,8%, Ganjar-Mahfud MD 30,4% dan Ganjar-Khofifah Indar Parawansa 30,2%, Ganjar-AHY 25,3%, Ganjar – Puan Maharani 27.0% dan Ganjar-Gibran 31,2%.

Yasin menjelaskan, hasil survei LSIN menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih untuk memilih cawapres perempuan sangat tinggi. Dengan 71 persen cawapres perempuan akan dipilih oleh responden.

Sementara, cawapres representasi milenial 19 persen mempertimbangkan akan dipilih. Kemudian, cawapres representasi NU akan dipilih oleh responden dengan tingkat partisipasi 35 persen dan cawapres representasi etnis Jawa akan dipilih dengan tingkat partisipasi sebesar 30 persen.

Partisipasi pemilih cenderung tinggi untuk memilih cawapres perempuan dengan 71 persen responden akan memilihnya. Sementara di segmen representasi milenial cenderung bersikap apatis dengan hanya 19 persen akan memilih cawapres representasi milenial dan sebagian besar memilih netral dia atas 50 persen. Pun demikian pada cawapres representasi NU, dan etnis Jawa.

Sosok Yenny Wahid memiliki “potensi tinggi” untuk menjadi “faktor kunci” pemenangan kompetisi. Sosok Yenny Wahid bisa menjadi “Dwi Tunggal” atau “Putra dan Putri Terbaik Bangsa” bersama Capres yang akan memenangi kontestasi Pilpres 2024.

Peta Politik Jawa Timur

Sebuah buku berjudul Pertarungan Elite Dalam Politik Lokal, terlihat relevan sebagai bahan diskusi dalam menganalisis dinamika kontestasi politik, terutama di Jawa Timur. Buku ini ditulis oleh Dr. Abdul Chalik dengan cetakan pertama terbit tahun 2017. Pada intinya, buku ini merupakan studi penulis terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung, yang dilakukan secara serentak pada tahun 2015. Dari 245 pilkada provinsi/kabupaten/kota, 19 diantaranya berlangsung di Jawa Timur.

Studi ini mengungkapkan bahwa secara politis, Jawa Timur merupakan kawasan dinamis. Bahkan, pada masa Orde Baru, Jatim sering disebut sebagai barometer politik nasional. Jumlah penduduk yang sangat besar dengan masyarakat muslim yang khas, sering dijadikan sebagai argumentasinya. Argumen lain, di Jawa Timur banyak kiai berpengaruh, pesantren besar dengan ribuan santri dan alumni, serta kawasan yang terus berkembang.

Menurut penulis buku ini, dinamika politik di Jawa Timur bahkan sudah tersohor sejak dahulu kala. Sejak masa Kerajaan Majapahit, atau kerajaan‐kerajaan kecil sebelum dan sesudah Majapahit. Begitu juga dengan Wali Songo. Setidaknya terdapat 5 makam para wali yang berada di propinsi ini, yang diyakini oleh umat Islam Indonesia sebagai penyebar Islam di tanah Jawa. Akibat dari para wali tersebut, muncul kerajaan Islam pertama kali yakni Demak Bintoro, dilanjutkan dengan Giri Kedaton hingga lahirnya kerajaan Mataram Islam.

Karena jasa para wali dan raja, muncul pondok pesantren dan madrasah, sebuah lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia modern. Tokoh‐tokoh nasional dan pergerakan nasional banyak lahir dan tumbuh di lembaga tersebut. Peran sosial pesantren merupakan jasa terbesar para wali terhadap bangsa.

Pada era moderen, kemunculan NU pada tahun 1926 dan Muhammadiyah pada tahun 1912 juga sangat terkait dengan Jatim. Era tahun 1920‐an merupakan era kebangkitan nasional yang ditandai dengan munculnya berbagai organisasi nasional baik yang berbasis Islam, nasionalis maupun sosialis. Tokoh‐tokoh nasional yang kelak menjadi perintis kemerdekaan lahir dan tumbuh di Surabaya. Demikian pula tokoh‐tokoh Islam yang kelak melahirkan Ormas NU dan Muhammadiyah juga berproses di Surabaya.

Cokroaminoto, Soekarno, Kyai Mas Mansyur, Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab adalah sederet tokoh nasionalis‐religius berproses di Surabaya. Kawasan Peneleh, Nyamplungan, Ampel dan sekitarnya merupakan kawasan tempat bertemu dan memulai pergerakan nasional. Maka tidak dapat dipungkiri jika Surabaya dan Jatim selalu menjadi basis politik. Karena di kawasan inilah sejarah awal bangsa Indonesia moderen banyak ditentukan.

Perpaduan antara nasionalis‐religius merupakan salah satu ciri dari masyarakat Jatim. Nasionalis‐religius merupakan anggapan umum terhadap polarisasi masyarakat Indonesia. Mereka adalah pejuang bangsa, pejuang yang selalu memperjuangkan nasib bangsa tapi sekaligus sebagai muslim yang taat. Atau juga seorang muslim yang taat tapi sekaligus sebagai pejuang kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa. Nasionalis menunjuk pada muslim Indonesia yang paham keagamaannya terbatas, sementara kaum religius pada muslim santri, yang konsisten menjalankan syariah.

Sejak Pemilu 1955 hingga saat ini, peta politik nasionalis dan religius sudah tergambar dengan jelas. Dalam Pemilu 1955 yang diikuti 39 peserta, NU dan Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) merupakan kekuatan besar politik yang bersandarkan pada basis massa Islam di propinsi ini. Sementara di kubu partai yang bercorak non agama, kiprah PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) juga memiliki pengaruh yang juga besar.

Hasil Pemilu 1955 mengukuhkan keempat partai tersebut sebagai peraih suara yang signifikan. Tidak kurang dari 3.370.000 suara diraih NU, atau 34,1 % dari 9 juta suara yang dinyatakan sah. Dengan proporsi sebanyak itu, NU menguasai 20 kursi legislatif, atau 31,7 % dari total 63 kursi yang diperebutkan. Sisi lain, PNI dan PKI saling bersaing ketat di posisi selanjutnya. PKI, misalnya mampu mengumpulkan suara 23,3 %, dan merebut 14 kursi. Adapun PNI memperoleh 22,8 % atau setara dengan 14 kursi, sementara Masyumi memperoleh 11, 2 %.70.

Pada Pemilu 1971, Golkar meraih 54,9 %, sementara partai‐partai Islam yang di kemudian hari menjadi PPP meraih 39,3 %. Saat itu, kantong suara NU seperti Pasuruan, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Jember dan pulau Madura dan beberapa kabupaten di kawasan timur tidak terkuasai oleh Golkar. Namun sebelah barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah, seperti Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Madiun dan Bojonegoro —wilayah yang sebelumnya berada dalam penguasaan PKI dan PNI, sepenuhnya dikuasai Golkar.

Pemilu berikutnya lebih banyak memaparkan kisah sukses Golkar. Pemilu 1977, misalnya Golkar meningkatkan perolehan suaranya menjadi 59,2 %, adapun PPP turun menjadi 35,9 %. Jika sebelumnya Situbondo, Bondowoso, Jember, Sampang, Sumenep, menjadi kantong PPP, kali ini justru dalam pengua‐saan Golkar. Kekuatan PPP semakin terpuruk dalam Pemilu 1982 dan 1987, utamanya sejalan dengan kebijakan NU pada tahun 1984 untuk “kembali ke Khiththah 1926” yang dengan sendirinya menjauhkan diri dari kehidupan politik, maka suara PPP tinggal 21,4 %.

Pada Pemilu 1982, 1987, 1992 dan 1997 juga tidak banyak mengalami perubahan. Hal yang sama terjadi pada Pemilu di era Reformasi. Partai yang berbasis Islam dan nasionalis berbagai rata di semua wilayah Jatim. Secara umum menggambarkan adanya keseimbangan antara nasionalis dan Islam.

Namun setelah Reformasi berjalan satu dekade, pemilahan nasionalis dan raligius dalam konteks pengurus partai sudah tidak memadai lagi. Perkembangan politik di tingkat lokal menunjukkan adanya kecenderungan yang berbeda. Masuknya tokoh pesantren, santri atau ustadz ke partai yang berbasis nasionalis mengindikasikan sudah cairnya antara batasan nasionalis dan religius. Bahkan beberapa partai secara tegas menyatakan dirinya sebagai partai nasionalis‐religius.

Yenny Wahid, Sebuah Terobosan Politik

Membaca hasil berbagai lembaga survei dan sejarah perpolitikan di Jawa Timur, setidaknya memunculkan suatu pertanyaan baru yang cukup substansial menjelang kontestasi pemilihan Presiden 2024, yaitu: Apakah kehadiran Yenny Wahid dalam kontestasi Pilpres 2024 akan menjadi faktor penentu?

Tentu, rumusan pertanyaan ini masih bisa diperdebatkan. Namun, dalam dinamika hari-hari menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2024, pertanyaan ini menjadi sangat relevan. Mengapa?

Argumen yang paling sederhana adalah: nama-nama capres untuk Pilpres 2024 sudah mengerucut kepada tiga nama, atau mungkin juga 4 nama jika ada koalisi baru. Artinya, kandidat untuk calon presiden sudah tidak banyak bergeser, termasuk di dalamnya adalah elektabilitas masing-masing calon presiden yang sudah sejak beberapa bulan lalu dirilis hasilnya oleh lembaga-lembaga survei.

Berikutnya, calon wakil presiden. Hingga saat ini, dari nama-nama yang muncul, baru satu nama yang sudah mendeklarasikan diri sebagai pasangan capres-cawapres, yaitu capres Anies Baswedan dan cawapres Muhaimin Iskandar.

Sementara, dua capres lainnya, masih mensimulasi nama cawapresnya: Ganjar-Sandiaga Uno, Ganjar-Erick Tohir, Ganjar-Ridwan Kamil, Ganjar-AHY, atau Prabowo-Erick Tohir, Prabowo-Ridwan Kamil, Prabowo-AHY. Sekali lagi, ini nama-nama yang masih simulasi, dan termasuk di dalamnya –sebagian– sudah ada hasil surveinya.

Yenny Wahid saat di doakan Pengasuh Pon Pes Sunan Drajat Kyai Abdul Ghofu, Paciran, Lamongan, Jawa Timur

Perkembangan terakhir dinamika politik kontestasi Pilpres 2024 makin menunjukkan bahwa Calon Wakil Presiden 2024 menjadi “Faktor Kunci” atau “Faktor Penentu” dalam pemenangan Pilpres 2024. Yang lebih mutakhir, Calon Wakil Presiden tidak lagi mengarah pada figur-figur nama tokoh.

Lebih dari itu, Calon Wakil Presiden sudah mengerucut pada representasi politik dari Calon tersebut, yaitu: Erick Tohir sebagai representasi kekuatan modal dan birokrasi; Mahmud MD sebagai representasi NU dan akademisi anti korupsi; Khofifah Indar Parawansa sebagai representasi NU dan perempuan; Gibran Rakaningbumi sebagai representasi kekuasaan dan mileniel serta Yenny Wahid sebagai representasi NU dan perempuan.

Nah, dari sinilah pertanyaan tentang kehadiran Yenny Wahid menjadi penting. Setidaknya, dalam konteks representasi politik, nama Yenny Wahid bisa menjadi representasi kuat NU, tempat dimana Yenny Wahid memiliki akar spritual, moral, sosial, dan bahkan politik. Berikutnya adalah perempuan, suatu variabel yang makin universal dalam proses demokratisasi di dunia. Termasuk dalam dinamika prosedurnya: pemilihan umum.

Dalam variabel-variabel yang bisa digunakan sebagai indikator penentuan kemenangan Cawapres, sosok Yenny Wahid memiliki “potensi tinggi” untuk menjadi “faktor kunci” pemenangan kompetisi. Dalam ikhtiar pemikiran, dan ikhtiar spritual, ada kecenderungan arah bahwa sosok Yenny Wahid bisa menjadi “Dwi Tunggal” atau “Putra dan Putri Terbaik Bangsa” bersama Capres yang akan memenangi kontestasi Pilpres 2024.

Apalagi dalam kurun beberapa bulan terakhir Yenny Wahid mendapatkan dukungan kuat dari kalangan kelompok perempuan khusunya berbasis nahdliyin, juga Yenny Wahid banyak didukung berbagai kyai dan Gus-Gus di basis nahdliyin yaitu Jawa Timur.

Dukungan kyai dan Gus Gus Poros Ponpes Tambak Beras, dukungan dari kelompok barisan Gusdurian, doa poros 9 kyai Jawa Timur dan dukungan Yenny Whaid sebagai Cawpares, dukungan kyai-kyai kampung dan gus-gus di Surabaya, serta dukungan kyai-kyai pon pes besar di Jawa Timur seperti Sunan Drajad, Pesantren Madura, Jombang, dan sebagainya menjadi penguat bahwa Yenny Wahid memiliki magnet elektoral yang kuta di basis pemilih nahdliyin.

Yenny Wahid

Inilah dinamika mutakhir menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2024 yang menarik untuk tidak saja dicermati.

Tetapi juga dipertimbangkan dan diputuskan oleh para elit politik pengambil keputusan. Bahwa, munculnya fenomena calon wakil presiden perempuan, yang peringkat elektoralnya merujuk pada nama Yenny Wahid, tidak bisa hanya dibaca sebagai fenomena aspirasi masyarakat pemilih saja.

Lebih dari itu, munculnya sosok seperti Yenny Wahid, bisa dibaca sebagai suatu kebutuhan terhadap perpolitikan nasional saat ini. Yaitu, kebutuhan terhadap sosok yang memiliki akar sosial-kultural yang kuat di masyarakat, sebagai pendamping dalam kepemimpinan nasional berikutnya. [YM]

Komentar

About Author /

Start typing and press Enter to search