Ideologi Maskulinitas dan Problem Ketimpangan Gender

Dalam berbagai kebudayaan, wanita sering diposisikan sebagai bagian terendah dalam struktur sosial masyarakat.

Bukan saja terendah dalam hirarki sosial, wanita juga terkadang dalam kebudayaan tertentu, diposisikan sama dengan binatang atau makanan. Sebut saja dalam kebudayaan yang lebih dekat dengan kita dan yang terkadang sering kita jadikan basis legitimasi bagi pandangan mengenai superioritas laki-laki atas perempuan, yakni kebudayaan Arab.

Dalam kebudayaan Arab Badui, terutama yang terekam dalam kamus-kamus bahasa Arab seperti Lisan al-Arab karya Ibnu al-Mandzhur dan al-Qamus al-Muhith karya al-Fairuz Abadi, kamus yang cukup representatif mewakili dunia Arab Badui yang keras dan jauh dari peradaban, akan kita temukan banyak leksem yang memiliki arti unta dengan segala variasi fisik dan umurnya dan bagaimana leksem unta ini juga digunakan oleh orang-orang Arab Badui untuk merujuk kepada perempuan dengan segala variasi fisik, umur dan sifatnya.

Untuk sekedar menyebut beberapa contoh, misalnya, leksem ad-damghaj dalam Lisan al-Arab artinya ialah al-Ba’ir ad-dlokhm at-taamm ‘unta yang berbadan besar’. Namun leksem ini juga digunakan oleh orang-orang Arab Badui untuk menggambarkan wanita secara fisik.

Masih dalam kamus yang sama, ad-damghaj ini, diartikan juga sebagai al-mar’ah ad-dlokhmah at-taammah al-kholq ‘wanita montok yang sempurna lekak-lekuk tubuhnya.’

Contoh lain dapat kita temukan juga dalam Lisan al-Arab karya Ibnu al-Mandzhur ini. Misalnya leksem as-sumakkhir yang artinya an-naqah as-syadidah ‘unta betina yang galak’ dapat juga digunakan untuk wanita yang artinya al-mar’ah al-ghalizhah ‘wanita yang galak’.

al-Qamus al-Muhith

Kecenderungan yang serupa dapat kita temukan dalam al-Qamus al-Muhith karya al-Fairuz Abadi.

Misalnya leksem al-qarthas yang artinya an-naqah al-fatiyyah ‘unta betina yang masih muda’. Leksem ini dapat digunakan juga untuk merujuk kepada wanita dengan arti al-jariyah al-baydha’ al-madidah al-qamah ‘budak perempuan berkulit putih dan tinggi semampai’.

Leksem as-saaniah yang berarti an-naqah al-hasanah ‘unta betina yang elok’ dapat juga digunakan untuk wanita yang artinya ialah al-mar’ah al-jamilah, al-laylah al-mafasil, al-latifah al-idzham ‘wanita cantik yang selalu siap di malam hari dan bertubuh seksi’.

Sebenarnya masih banyak contoh yang bisa dikemukakan dalam dua kamus ini. Contoh di atas hanya terbatas pada binatang berjenis unta.

Jika kita membaca lebih dalam lagi Lisan al-Arab dan berfokus kepada leksem-leksem bermakna binatang, akan dapat disimpulkan bahwa selain unta, masih banyak lagi jenis binatang – misalnya seperti kuda, kalajengking, semut, kucing, anjing dan lain-lain – yang digunakan oleh Arab Badui untuk merujuk kepada perempuan.

Masifnya leksem-leksem dalam kamus tersebut mengingatkan kita akan pandangan Adam Schaff dalam salah satu tulisannya yang berjudul Langage et Action Humaine yang mengatakan bahwa:

On sait que la forme de la pensée est liée à la forme de la langue, c’est-à-dire que la langue influe sur la pensée…il est evident qu’indirectement du moins, le comportement humain est lié, lui aussi, à la langue, que la langue exerce sur lui une certain influence..

“Kita ketahui bersama bahwa mode-mode pikiran itu terkondisikan oleh bahasa, yakni bahwa bahasalah yang memberikan pengaruh besar terhadap pikiran…karena itu jelaslah, bahwa tingkah laku manusia secara tidak langsung juga dipengaruhi atau terkondisikan oleh bahasa. Dengan kata lain, bahasalah yang memberikan pengaruh tertentu kepada tingkah laku tersebut…”

Jika kita terima pandangan yang dikemukakan oleh Adam Schaff ini, pandangan yang sebenarnya menghidupkan kembali hipotesa relatifitas bahasa yang dulu pernah digaungkan oleh von Humboldt dan Herder, hipotesa yang mengatakan bahwa sistem bahasa apapun, baik kosakata, susunan gramatika maupun signifikasi semantiknya dapat memengaruhi cara pandang penuturnya dalam berinteraksi dengan alam sekelilingnya.

Maka dapat dikatakan pula bahwa leksem-leksem yang digunakan untuk unta yang sama-sama juga digunakan untuk wanita sesungguhnya mencerminkan pandangan Arab Badui yang sebenarnya dalam interaksinya dengan wanita, yakni bahwa mereka melihat wanita tak lebih sebagai objek yang dapat dikuasai dan ditaklukan layaknya binatang dan dapat dieksploitasi baik tenaganya maupun aspek biologisnya.

Mereka melihat wanita tak lebih sebagai objek yang dapat dikuasai dan ditaklukan layaknya binatang dan dapat dieksploitasi baik tenaganya maupun aspek biologisnya.

Masyarakat Mekkah kemungkinan sangat didominasi oleh budaya Arab Badui yang memandang rendah posisi wanita.

Namun demikian, pertanyaan yang muncul adalah sebegitu besarkah pengaruh bahasa terhadap cara pandang orang-orang Arab dalam memperlakukan wanita? apa relasi yang mendasari bahasa dan pengaruhnya terhadap cara pandang penuturnya? Apakah relasi ini sifatnya pasti berdasarkan kepada hukum kausalitas ataukah sebaliknya hukum yang serba mungkin?

Tentu untuk menjawab ini semua kita perlu berkaca kepada pengalaman bangsa Arab sendiri. Dan pengalaman menarik yang tentunya legitimatif berkenaan dengan pengaruh bahasa Arab terhadap pandangan dunia penuturnya dapat kita ambil dari beberapa sumber-sumber kesejarahan.

Sebut saja yang paling mudahnya ialah kitab-kitab hadis. Dalam al-Jami as-Sahih karya Imam al-Bukhari dan al-Jami as-Sahih karya Imam Muslim, diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah mengeluhkan keberanian wanita-wanita Quraisy terhadap lelaki atau suami-suaminya. Keberanian ini berkaca dari wanita Madinah.

Dalam hal ini, Umar bin al-Khattab menuturkan: “Kami orang-orang Quraisy sudah terbiasa menguasai wanita tapi tatkala tiba di madinah, kami malah mendapatkan orang-orang Anshar dikuasai oleh wanita mereka.

Maka sejak itu wanita-wanita kami mulai meniru etika wanita-wanita Anshar tersebut. Karena itu, aku marah-marah pada istriku. Tetapi dia malah membantahku. Hal itu tentu saja tidak bisa kuterima. Namun dia malah membela diri dengan mengatakan: ‘mengapa kamu tidak bisa menerima jika aku membantahmu? Demi Allah, istri-istri Nabi saja pernah membantah beliau. Bahkan ada salah seorang dari mereka mendiamkan (tidak berbicara dengan) beliau selama sehari semalam sehingga aku takut karenanya’”

Kutipan kisah Umar yang terekam dalam kitab hadis Bukhari dan Muslim ini paling tidak menggambarkan adanya dua macam relasi yang mendasari hubungan laki-laki dan wanita pada masyarakat di masa kenabian.

Pertama, relasi atasan-bawahan seperti yang diwakili oleh tradisi Quraish (muhajirin) dari masyarakat Mekkah; kedua, relasi kesetaraan seperti yang diwakili oleh tradisi Aus dan Khazraj (anshar) dari masyarakat Madinah.

Kalau kita kaitkan dengan pengaruh bahasa terhadap pandangan hidup penuturnya, maka, masyarakat Mekkah kemungkinan sangat didominasi oleh budaya Arab Badui yang memandang rendah posisi wanita. Hal demikian juga dapat kita pertegas lagi dengan adanya penggunaan leksem seksual yang memungkinkan relasi laki-laki dan wanita ini ialah relasi atasan-bawahan.

Misalnya, Khalil Abdul Karim, dalam bukunya al-Alaqah bayna ar-Rajul wa al-Mar’ah fi al-Mujtama al-Yahtribi mengamati adanya penggunaan leksem seksual seperti ar-rukub ‘menunggangi’, al-i’tila ‘menaiki’, al-imtitha ‘menaiki gunung’, al-wath’u ‘menyenggamai,’ al-ityan ‘mendatangi’ dan lain-lain yang menunjukkan adanya posisi dominan salah satu pihak, yakni pihak laki-laki dalam hubungan seksual dengan wanita di masyarakat Mekkah.

Ada dua pola relasi lelaki dan perempuan, pola relasi ketidaksetaraan dan relasi kesetaraan yang masing-masingnya diwakili oleh masyarakat Mekkah dan masyarakat Madinah

Masyarakat Madinah

Sementara itu, ada juga penggunaan leksem seksual yang berbeda dalam mengekspresikan hubungan seksual laki-laki dan wanita yang terjadi di masyarakat Madinah.

Dalam hal ini, ketika kita membaca banyak literatur mengenai relasi seksual di masyarakat ini, akan kita temukan leksem-leksem seperti al-mulamasah ‘saling menyenggama,’ al-mufakahdzah ‘saling bertemu pahanya,’ al-mubathanah ‘saling beradu perut,’ al-murawadah ‘saling merayu untuk berhubungan’ dan lain-lain.

Jika kita lihat pola verbanya, akan ditemukan bahwa yang digunakan ialah pola faa’ala yang mengandung arti bahwa suatu perbuatan dilakukan atas keterlibatan dua belah pihak dan itu artinya laki-laki dan wanita berpartisipasi secara aktif dalam hubungan seksual. Artinya, penggunaan pola faa’ala ini menunjukan kesetaran relasi antara laki-laki dan wanita.

Jadi penggunaan leksem demikian sebenarnya mencerminkan kenyataan sosial di masyarakat Madinah pada waktu itu yang menjunjung tinggi kesetaraan laki-laki dan perempuan dimana Nabi SAW mengadopsi pola-pola etika seperti ini dan tidak menjadikan tradisi Quraisy, asal sukunya, dalam membangun relasi laki-laki dan wanita. Hal demikian seperti yang ditegaskan dalam hadis yang telah disebut di atas.

Simpulnya, adanya dua pola relasi lelaki dan perempuan, pola relasi ketidaksetaraan dan relasi kesetaraan yang masing-masingnya diwakili oleh masyarakat Mekkah dan masyarakat Madinah ini, menunjukkan betapa bahasa tidak selalu memengaruhi cara pandang penuturnya secara pasti melainkan juga bisa sebaliknya yakni cara pandang penuturnya yang memengaruhi penggunaan bahasa.

Dengan demikian, relasi bahasa dan pandangan hidup penuturnya didasarkan kepada prinsip simbiosis mutualisme dan prinsip interdependensi atau prinsip timbal balik yang aktif.

Atas dasar prinsip ini, tidak bisa ditentukan secara pasti bahwa leksem-leksem unta yang digunakan untuk merujuk kepada perempuan dengan sendirinya berarti orang Arab tidak menghargai wanita.

Semua tergantung kepada aspek-aspek lain seperti kondisi geografis, gaya hidup, politik, budaya, sosial yang tidak melulu bahasa yang menentukan semua itu. Allahu A’lam. [Abdul Azis-Peneliti Dialektika Institute]

Komentar

About Author /

Start typing and press Enter to search