Prof. Dr. Firman Noor : Saat Negara dan Rakyat Dikendalikan Oligarki
Jika ditanya negara ini kemana, ibarat lomba balapan race, kecepatan lari negara kalah jauh dengan kecepatan larinya oligarki menuju ke akses kekuasaan.
Sehingga, tidak mengherankan apabila pertemuan oligarkh dengan pemegang kekuasaan atau negara itu lebih dulu dibanding rakyat.
Demikian kira-kira yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Firman Noor (Peneliti BRIN) saat diminta menyampaikan pendapatnya mengenai Kepemimpinan Negara: Tarik Menarik antara Kepentingan Rakyat dan Kepentingan Ologarki.
Mengawali pembicaraan, Firman Noor menjelaskan bahwa demokrasi pada prinsipnya merupakan suatu ide yang dilandaskan pada kesetaraan dan kesederajatan akses menuju pada kekuasaan.
Dengan mengutip Chantal Mouffe dalam bukunya The Democratic Paradox, Firman Noor menyebutkan bahwa ternyata dalam demokrasi itu ada paradox.
Yang artinya, tidak semua pihak diuntungkan dengan adanya sistem demokrasi.
Dengan adanya pihak yang tidak diuntungkan ini, demokrasi bisa jadi dimonopoli oleh oligarkhi.
“Ada peluang di sini bahwa jangan-jangan demokrasi ini terbajak oleh oligarkhi,” ujar Firman Noor dalam ngaji kepemimpinan Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy pada Rabu (20/04/2022).
Mengapa Oligarki Melesat?
Ya, pertanyaan mengapa oligarki melesat dibanding rakyat?
Boleh saya ibaratkan, jika ditanya negara ini kemana, ya ibarat lomba race, kecepatan lari negara itu kalah jauh dengan kecepatan larinya oligarki dalam menuju ke akses kekuasaan.
Lalu dampaknya apa, fakta hari ini pertemuan oligarkh dengan pemegang kekuasaan atau negara itu lebih dulu dibanding rakyat.
Akibatnya, realitas hari ini kebijakn-kebijakan yang dilahirkan oleh negara, karena didatangi lebih dulu oleh oligarkh menjadi sangat dipenuhi oleh nuansa oligarki.
Menurut Firman Noor, kecepatan rakyat sebagai pemegang kekuasaan kalah jauh dengan kecepatan oligarkh dalam menuju kekuasaan. Oligarkh sering lebih dulu berkuasa.
Mengapa kemudian oligarki ini memiliki kemampuan melesat jauh lebih cepat ketimbang rakyat atau negara?.
Ada delapan factor yang menyebabkan cepatnya oligarkhi menuju kekuasaan dibanding rakyat biasa.
Pertama, oligarkhi secara political DNA, memiliki watak yang agile, adaptif, transformative, pandai melihat peluang dan punya orientasi untuk meningkatkan kekayaan dan kekuasaan.
Dengan DNA Politik yang seperti ini membuat oligarki lebih adaptif, lebih cantik dan lebih leader untuk meraih apa yang diinginkan. Dimana di saat yang sama masyarakat kita memiliki kecenderungan DNA menerima (neriomo).
Rakyat dengan situasi negara yang sulit dan demokrasi yang mengkhawatirkan mau menerima keadaan dan diam. Dan butuh waktu lama untuk menumbangkan suatu rezim, kemudian menyadarkan rakyat.
Sementara oligarki memiliki kemampuan yang adaptif, kita bisa lihat pada saat Soeharto turun di masa reformasi mei 1998 sebetulnya oligarki limbung karena patron utama mereka tumbang.
Karena oligarki kesultanan maka ketika tumbang sultannya ya oligarki limbung, tapi di bulan agustus para oligarkh sudah beradaptasi dengan jalur penguasaan melalui Parpol, mereka berada dibalik layar Parpol. Perkembangan kemudian diawal-awal Parpol didirikan oleh akadamisi dan aktivis, kemudian belakangan berubah dimana Parpol didirikan oleh para saudagar, para saudagar menguasai Parpol.
Mengapa Oligarki Tetap Eksis di Indonesia?
Kedua, oligarkhi hidup subur dalam tatanan politik Indonesia, tersebab oleh politik biaya tinggi alias Democracy for Sale meminjam bahasa Barenschot dan Aspinall.
Dalam pengamatan kita, dalam Pilkada, hampir 92 persen kandidat dibiayai oleh para cukong alias oligarkh.
Kenapa?, proses kontetasi membutuhkan negosiasi mahal sehingga pembiayaan melibatkan para oligarkh.
Nah, inilah pintu masuk oligarkh, mereka membiayai itu semua. Dan tentu saja tidak ada pembiayaan yang free, sebagaimana orientasi oligarkhi sebagaiman Jefrry Winters mengatakan oligarki itu mempertahankan dan mendapatkan kekayaan tentu saja apa yang dilakukan oleh oligarkh tidak gratis. Mulai dari bentuk intervensi program, kebijakan bahkan yang paling berbahaya adalah oligarki masuk pada politik vetokrasi.
Tidak bisa dibayangkan bagimana kebijakan yang dilahirkan pemerintah kemudian diveto para oligarkh, karena oligarkh memiliki hak veto dalam kekuasaan.
Sepanjang bahaya laten politik biaya tinggi terus subur, para oligarkh memiliki legitimasi untuk “eksis” di Indonesia.
Bagaimana Oligarki Mempertahankan Powernya?
Ketiga, ketimpangan ekonomi di Indonesia. Beberapa sumber data mengungkapkan bahwa ada 0,2 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia yang menguasai economic resources negara sebesar 75%.
Oligarki adalah pihak yang paling diuntungkan dengan ketimpangan ekonomi, karena kondisi yang demikian memudahkan para oligarkh mengendalikan dan menyetir masyarakat.
Mengapa Oligarki Susah Dilawan?
Keempat, corong suara rakyat yang cenderung lemah, suara rakyat sejatinya bisa disuarakan Paprol sebagai corong suara rakyat tapi Parpol tidak berfungsi dengan baik.
Faktanya, Parpol sudah dihajar dari sejak orde baru dan juga orde reformasi, dan bahkan sekrang Parpol dibentuk hanya untuk kepentingan elit, kepentingan pemilik partai, ya oligarki juga.
Parpol sudah selesailah, hanya sebagain segelintir saja yang masih survive atau belum dikuasai oligarki.
Nah, civil society sebenarnya sebagai corong suara rakyat yang lain ya belakangan ini peranan civil society sudah terkooptasi dan menjadi bagian dari penguasa.
Kalau di Ordebaru itu lebih gampang memetakan jika ada oposisi ya civil society inilah sebagai oposisi Ordebaru.
Nah, kalau sekarang susah sekali karena civil society sebagian berada di kekuasaan dan mereka sangat vokal menyuarakan kepentingan penguasa.
Ada banyak buzzer, influencer, content creator yang cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.
Civil society tidak saja terkooptasi, tapi juga terfragmented yang mana mereka yang berada di luar kekuasaan juga cenderung tidak kompak. Sehingga corong suara rakyat ini lemah.
Mengapa Rakyat Lemah?
Kelima, kesadaran politik rakyat yang belum memadai. Rakyat Indonesia tidak mengerti dan bahkan tidak tahu apa yang diinginkan.
Atau mengalami blank spot. Karena kesadaran politik rendah akibatnya, elit dan oligarkh mengeluarkan narasi-narasi rakyat butuh ini, rakyat butuh itu, yang sejatinya itu semua adalah ciptaan para oligarkh.
Kesadaran politik ini memang belum mengakar sehingga agenda-agenda politik rakyat justru didesain dan dibuat para oligarkh dan dieksekusi sendiri oleh oligarkh.
Keenam, lingkungan yang kurang mendorong penguatan demokrasi ditambah dengan lemahnya penegakan hukum.
Ditambah adanya politik carrot and stick, jika nurut dengen pemerintah dikasih carrot (hadiah) jika tidak nurut dikaish stick (digebuk).
Ketujuh, oligarkhi menguat karena mereka menguasai posisi-posisi kunci di yudikatif dan ekesekutif baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Oligarki menguasai secara langsung maupun melalui kaki tangannya yang akhirnya melindungi kepentingan oligarki, dan inilah sebenarnya yang menghalang-halangi suara rakyat. Para oligarkh memiliki hak veto, atau politik vetokrasi.
Mengutip penelitian LIPI, dari 10 komponen DPR, ada 5-6 berasal dari pebisnis. Akibatnya, naluri berpikirnya bercampur aduk dengan kepentingan bisnis.
Kedelapan ialah leadership, kita tidak memiliki leadership mulai dari presiden, di dewan, anggota dewan, yang kuat untuk melawanoligarki.
Oligarkhi makin menguat karena melemahnya leadership, baik dari leadership paling puncak maupun paling bawah.
Dalam konteks ini, bisa kita lihat negara Ukraina. Bagaimana Zelensky, presiden Ukraine, membuat kebijakan untuk mengurangi cengkraman oligarkhi dengan cara membuat suatu aturan UU untuk melawan oligarki.
Pada September tahun 2021 Zalensky membuat UU anti oligarki dan disahkan oleh parlemen.
UU tersebut diuraikan ada empat kategorisasi oligarkhi yang jika tiga diantaranya terpenuhi maka dilarang berkativitas dalam politik.
Di antaranya ialah pertama, orang yang punya posisi penting di pemerintahan yang aktif dalam pemerintahan dan partai politik sekaligus.
Kedua, orang-orang yang memiliki monopoli yang kuat dalam menguasai resources.
Ketiga, orang-orang yang menguasai media; keempat, orang-orang yang memiliki asset melebihi one million dollars.
Zelensky mengkategorikan bahwa orang yang memiliki tiga dari empat kategori oligarkhi tadi tidak diperbolehkan untuk terjun dalam politik.
Presiden Zalensky ini menjadi contoh bagaimana seorang leader memiliki komitmen kuat melawan oligarki.
Kedepannya di Indonesia kita berharap memiliki pemimpin yang kuat untuk melawan oligarki.
Atau mungkin ia dibantu oligarki tapi memiliki kekuatan massa yang kuat untuk melawan oligarki.
Dampaknya apa? rakyat menjadi nomor kesekian, kualitas demokrasi menurun, dan dampaknya sampai pada terjadinya ketimpangan ekonomi, kebermanfaatan demokrasi menajdi tidak terasa di Indonesia.
Apa Kekhawatiran Anda dengan Situasi Saat Ini?
Saya khawatir jika demikian terjadi terus menerus demokrasi kita menjadi stunting. Dimana kualitas demokrasi betul-betul bobrok, money terus-terusan yang berbicara, sehingga segala kebijakan dikompromikan oleh oligarkh melalui kekuatan vetokrasi yang dimiliki oligarki.
Inilah yang menyebabkan rakyat tidak bisa hadir di negara, rakyat tidak didengar oleh negara.
Lalu solusinya bagaimana?
Untuk mengatasi cengkeraman oligarkhi ini, Firman Noor menawarkan beberapa solusi, di antaranya ialah political education, penguatan kesadaran sehingga masyarakat tahu akan bahaya oligarki.
Situasi saat masyarakat terbentuk opini bahwa money politic suatu kewajaran ini sangat berbahaya bagi demokrasi. Masyarakat menjadi tidak tahu bahaya oligarki, justru memandnag politik uang suatu kewajaran dalam berdemokrasi.
Kemudian berikutnya adalah perubahan structural secara menyeluruh. Termasuk institusi penegakan hukum.
Berikutnya adalah perbaikan UU, misalnya aturan main PT 20% ini memaksa politik biaya mahal, UU yang seperti ini harus dilakukan perubahan.
Penguatan institusi demokrasi, membuat institusi demokrasi mandiri, Parpol mandiri. Sehingga menutup ruang bagi oligarki.
Berikutnya adalah leadership yang kuat, perbaikan struktural yang menyulur didukung dengan regulasi UU Pemilu yang baik harus ditambah dengan leadership yang kuat jika tidak akan sulit melawan oligarki.
Penguatan civil society untuk konsisten melawan oligarki.
Apakah situasi reformasi 98 bisa terjadi di tengah cengkraman oligarki?
Situasi ini bisa saja terjadi mengkin akhir-akhir ini kita bisa lihat kondisi negara Sri Lanka yang mana terjadi situasi ekonomi mengalami krisis sehingga terjadi gejolak yang mengancam terjadi peristiwa seperti tahun 1998 di Indoensia.
Kedua leadership presiden Indonesia yang cebderung mempertahankan menteri-menteri yang sejatinya sudah tidak disukai oleh rakyat. Ini bisa saja jika dibiarkan akan menimbulkan gerakan-gerakan seperti pengulangan reformasi 1998.
Mengapa Tidak ada Perbaikan Demokrasi?
Kami sendiri sebenarnya sudah berupaya, membuat riset, membangun wacana, dan berbagai cara sudah kita lakukan. Tapi ya karena dikuasai oleh oligarki. Praktik-praktik kebijakan masih dalam bentuk-bentuk kesepakatan-kesepakatan, atau agrement dimana di dalamnya ada peran para oligarkh.
yang jelas negara ini diurus tidak by research tidak berdasarkan kajian tapi dijalankan dengan political aggreement amoung the elits (kesepakatan sekitaran kelompok elit).
Pengalaman pribadi saya, saya pernah diundang disebuah forum dimana hadir dari representasi pemerintah, juga parlemen. Kita sudah uapayakan semuanya.
Beberapa anggota dewan yang jujur bilang ke saya bahwa ketika membuat kebijakan hasil kajian-kajian kita dibilang hanya sebagai pemanis saja, supaya terlihat adanya partisipasi, ada naskah akademik.
Tapi yang jadi patokan sebenarnya adalah oligarki, segala upaya yang kita jalankan situasinya menjadi seperti ini ya karena memang adanya oligarki. apalagi kekuatan kita ini terbatas hanya sebatas bisa menyampaikan, mengenai akan diapakan pesan dan hasil kajian kita ya itu bukan dalam ranah kita.
Dihadapan para LSM, para aktivis, dan akademisi saya pernah menyampaikan pertanyaan sebetulnya demokrasi masih matters ngga sih? Kalau ngga ya udah lebih baik kita stop aja karena ngomong sudah capek. Daripada hanya talk-talk aja, not action. NATO (not action, talk only).
Jadi jika suatu saat nanti kita memiliki seorang pemimpin, yang betul betul menghargai, kajian-kajian ilmiah, mungkin kita akan bisa memperkuat demokrasi dan mengimplementasikannya dan itu kita baru bisa menikmati sesuatu yang berbeda dari sekarang.[]AZ
Kilkers Versi PDF
Komentar